Sebulan sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai, warganet Indonesia masih terus menunjukkan dukungan terhadap pasukan Presiden Rusia Vladimir Putin. Meski demikian, sentimen warganet disebut pengamat tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dalam merespons konflik di Eropa Timur itu. Dalam unggahan akun Instagram VOA Indonesia 24 Maret 2022 berjudul “Zelenkyy: ‘Ada Sanksi Baru’; Putin: ‘Bayar Gas Pakai Rubel’”, mayoritas warganet menunjukkan dukungan mereka terhadap Putin. Salah satu akun menulis, “Mantul, RUSIA di lawan!!!” sementara akun lain berkomentar, “i love u lord Putin.” Banyak lainnya mengetik kata “ura,” yang merupakan slogan pasukan bersenjata Rusia saat bertempur, atau mengolok-olok Zelenskyy. Komentar-komentar pro-Rusia warganet Indonesia tersebut tidak hanya terdapat pada unggahan itu, melainkan pada unggahan lainnya mengenai konflik Rusia-Ukraina yang diposting berbagai akun berita lintas media sosial. Sentimen Pro-Rusia Percakapan warganet Indonesia mengenai konflik Rusia-Ukraina sejak 23 Februari, sehari sebelum Rusia melancarkan invasinya ke Ukraina, hingga setidaknya 21 Maret 2022 didominasi dukungan bagi negeri beruang merah, kata Dudy Rudianto, pendiri platform pemantauan dan analisis big data Evello yang berbasis di Jakarta. “Sebagian besar netizen Indonesia, kalau terbaca oleh Evello, di TikTok 95 persen, di Instagram 73 persen itu menyatakan dukungan terhadap Rusia, setelah (Presiden Ukraina Volodymyr) Zelenskyy curhat bahwa Ukraina ditinggal oleh NATO dan negara-negara Barat,” jelas Dudy kepada VOA (21/3). Menurutnya, ketidaksukaan terhadap Amerika Serikat dan NATO serta kekaguman terhadap sosok Putin menjadi penyebab sentimen pro-Rusia kental di jagat maya tanah air. Saat ditanya apakah terdapat andil akun-akun palsu maupun buzzer, Dudy menjawab, pihaknya baru mendeteksi akun-akun “baru menetas” yang secara gamblang melakukan pembelaan – baik terhadap Rusia maupun Ukraina – sejak pekan ketiga Maret 2022. Kemunculan akun-akun itu disebutnya lebih menguntungkan pandangan pro-Rusia, meski jumlahnya belum sampai satu persen dari keseluruhan akun media sosial yang meramaikan percakapan. Misinformasi dan disinformasi tentang konflik juga mewarnai dunia maya, baik yang merugikan Rusia maupun Ukraina. Akan tetapi, pantauan Evello menunjukkan umur misinformasi dan disinformasi tersebut cenderung pendek. “Paling lama satu hari, kemudian sudah ada semacam penawar atau bantahannya, yang kemudian menyebabkan informasi ini tidak terlalu cepat berkembang dan kemudian mendominasi opini publik,” papar Dudy. Secara umum, invasi Rusia ke Ukraina memunculkan sentimen negatif di kalangan warganet hingga 43,17 persen. Konflik itu juga memicu rasa sedih 30 persen dan marah 12 persen, menurut analisis Evello. “Tapi menariknya, publik Indonesia itu ada 12 persen yang joy, yang menikmati betul momen perang Rusia dan Ukraina ini,” ungkap Dudy. “Kemudian ada 11 persen emosi fear atau takut, dan sedikit sekali yang menyatakan disgust atau tidak menginginkan perang ini terjadi.” Per 21 Maret lalu, Evello mencatat 99.366 artikel berita soal konflik Rusia-Ukraina di ranah digital Indonesia, yang dibagikan 1.841.433 kali di Facebook. Konten mengenai konflik itu juga menuai lebih dari 639 juta penayangan dengan 2,7 jutaan komentar di YouTube, lebih dari 735 juta penayangan dengan 1,5 jutaan komentar di TikTok, dan hampir 74 juta penayangan dengan 765 ribuan komentar di Instagram. Sementara di Twitter, terdapat 23.114 akun unik yang terlibat dalam percakapan invasi Rusia ke Ukraina. Indonesia sendiri memiliki sekitar 196 jutaan pengguna internet dari total populasi sekitar 266 juta jiwa (73,7 persen) menurut survei pada tahun 2020 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Indonesia Survey Center. Sebagai informasi, jajak pendapat di Rusia yang dilakukan lembaga survei swasta Russian Field pada 26-28 Februari 2022, menunjukkan bahwa 58,8 persen responden mendukung tindakan Rusia di wilayah Ukraina. Secara demografis, tingkat dukungan di kalangan muda (18-29 tahun) lebih sedikit (41,7 persen) dibandingkan kalangan usia 60 tahun ke atas (72,8 persen). Survei itu juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin rendah tingkat dukungan untuk invasi Rusia ke Ukraina. Bukan Sekadar Rusia VS Barat Sentimen pro-Rusia warganet Indonesia mengejutkan Radityo Dharmaputra, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Sekitar lima tahun yang lalu, banyak orang yang masih melihat Rusia sebagai negara bekas komunis, akunya. “Bahkan saya dan beberapa teman ketemu diplomat-diplomat Indonesia di Rusia yang sedang berusaha untuk mengedukasi publik bahwa Rusia (sekarang) sudah beda dengan Rusia yang dulu,” ungkap Radityo (22/3), yang tengah menempuh pendidikan doktoral di University of Tartu, Estonia, dengan tesis mengenai Asia dalam wacana dan praktik kebijakan luar negeri Rusia. Dalam analisisnya, dukungan warganet Indonesia terhadap Rusia lebih didorong oleh sikap anti-Amerika, popularitas Putin yang kerap dianggap memiliki kualitas pemimpin ideal, serta klaim bahwa Rusia sekutu kelompok Islam, terlepas dari rekam jejaknya menyerang Afghanistan, Chechnya dan Suriah di masa lalu. Menurut pengamatan Radityo, pemahaman publik mengenai konflik Rusia-Ukraina sendiri belum memadai. Ia mengatakan, ketegangan di kawasan Eropa Timur itu bukan semata perlawanan Rusia terhadap dominasi Barat. Selain ancaman keamanan akibat perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang sejak 2008 belum menerima permohonan keanggotaan Ukraina, pandangan Putin mengenai perluasan kekuatan Rusia di kawasan sekaligus narasi bahwa setiap etnis Rusia di negara-negara eks-Soviet merupakan bagian dari lingkup pengaruh Rusia telah lama menciptakan paranoia di kalangan negara-negara bekas Soviet. Ukraina – seperti banyak negara bekas Soviet lainnya – merdeka pada tahun 1991, menyusul pembubaran Uni Soviet pada tahun yang sama. Di samping itu, menurunnya popularitas Putin di dalam negeri juga disebut Radityo turut melatarbelakangi invasi Rusia ke Ukraina. “Sebetulnya kalau kita memahami dinamika kawasan, ini bukan hal baru. Kekhawatirannya sudah cukup lama, peningkatan pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina sudah cukup lama, tidak baru terjadi satu-dua bulan, tapi sudah terjadi dari 2014, meningkat terus, terutama di 2021,” jelasnya kepada VOA. Sebelum melancarkan invasi ke Ukraina, Rusia sudah lebih dulu mengakui wilayah pendudukan Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur sebagai negara merdeka. Pada 2014, Rusia juga mencaplok Krimea dari Ukraina. Tidak Berpengaruh Radityo memahami kritik warganet terhadap Amerika dan negara-negara Barat yang menerapkan standar ganda saat menanggapi invasi Rusia ke Ukraina. Menurutnya, standar ganda itu memang dianut negara-negara Barat, terutama AS. “Tapi yang menjadi masalah buat saya adalah ketika kritik itu hanya berhenti sampai kritik Amerika dan seakan-akan malah dukung Rusia,” tutur Radityo, yang saat ini menjadi peneliti di Johan Skytte Institute of Political Studies di Universitas Tartu. “Tidak lantas kita mendukung apa yang dilakukan Putin, apalagi sampai mengecilkan tragedi yang terjadi di Ukraina.” Kekhawatiran serupa diungkapkan peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, Delia Wildianti. Dalam wawancara dengan VOA, Delia berharap warganet tidak ikut-ikutan menerapkan standar ganda dalam merespons konflik yang menelan korban warga sipil. “Untuk kasus Palestina mungkin banyak dari masyarakat kita menolak yang dilakukan oleh Israel, tetapi untuk kasus invasi Rusia terhadap Ukraina kan sebaliknya. Ini jadi satu hal yang kontradiktif memang,” tutur Delia saat diwawancarai VOA (24/3). “Kenapa? Apakah memang karena ada pandangan soal kelompok Islam itu sendiri? Ketika yang terdampak kelompok Islam maka itu menjadi tidak boleh, tetapi kalau misalnya di luar kelompok Islam itu menjadi boleh?” Menurut badan pengungsi PBB (UNHCR) pada 25 Maret lalu, lebih dari 3,7 juta penduduk Ukraina telah meninggalkan negara itu untuk menyelamatkan diri, sementara sekitar 13 juta penduduk lainnya diperkirakan terlunta-lunta di wilayah terdampak dan terjebak situasi perang. Sejak invasi dimulai, setidaknya 1.035 warga sipil telah tewas, sementara 1.650 lainnya terluka. Sedangkan terkait popularitas Putin di kalangan warganet Indonesia, Delia tidak terlalu khawatir publik Indonesia akan terbuai dengan nilai-nilai otoritarianisme yang melekat padanya, mengingat penentangan masyarakat terhadap gagasan-gagasan non-demokratis di Indonesia masih kuat, karena adanya sejarah otoritarianisme di dalam negeri. Sementara itu, ketika disinggung mengenai dampak sentimen pro-Rusia terhadap kebijakan luar negeri Indonesia, Radityo berpendapat pemerintah tidak akan memberikan respons khusus, kecuali massa secara massif turun ke jalan untuk berunjuk rasa. “Tapi kalau hanya berhenti di media sosial, apalagi bukan isu domestik, tidak berhubungan langsung dengan masyarakat, (maka tidak akan direspons),” paparnya. Meski demikian, kebijakan luar negeri Indonesia terkait konflik Rusia-Ukraina disebut Radityo akan diuji menjelang Konferensi Tingkat Tinggi G20 – kelompok 20 ekonomi utama dunia – di Bali Oktober mendatang, mengingat Indonesia tengah menjabat presidensi G20. Pada KTT Darurat NATO di Brussels pada 24 Maret lalu, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa Rusia seharusnya dikeluarkan dari G20. Apabila Indonesia dan negara lainnya tidak setuju dengan usulannya, Biden meminta Ukraina dapat turut hadir dalam forum, meski bukan anggota kelompok tersebut. Di sisi lain, duta besar Rusia untuk Indonesia telah menyatakan niat Putin menghadiri konferensi itu. Hingga berita ini diturunkan, pemerintah Indonesia masih akan tetap mengundang Presiden Rusia ke KTT G20. [rd/em]