Twitter meningkatkan upayanya untuk melawan penyebaran disinformasi dengan kebijakan baru yang menindak unggahan yang menyebarkan berita palsu yang berpotensi menimbulkan bahaya. Perubahan tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menggalakkan informasi yang akurat selama masa konflik atau krisis. Mulai Kamis (19/5), platform itu tidak akan lagi secara otomatis merekomendasikan atau menekankan postingan yang membuat klaim menyesatkan tentang invasi Rusia ke Ukraina, termasuk materi yang salah yang menggambarkan kondisi di zona konflik atau membuat tuduhan palsu tentang kejahatan perang atau kekejaman terhadap warga sipil. Melalui “kebijakan disinformasi krisis” yang baru, Twitter juga akan menambahkan label peringatan untuk membantah klaim tentang krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung, ujar perusahaan yang berbasis di San Francisco itu. Pengguna tidak akan dapat menyukai, meneruskan, atau menanggapi postingan yang melanggar aturan baru tersebut. Perubahan itu menjadikan Twitter sebagai platform sosial terbaru yang berjuang untuk mengatasi informasi yang salah, propaganda, dan rumor yang telah berkembang luas sejak Rusia menginvasi Ukraina pada bulan Februari. Informasi yang salah itu berkisar dari rumor yang disebarkan oleh pengguna yang bermaksud baik hingga propaganda Kremlin yang diperkuat oleh diplomat Rusia atau akun dan jaringan palsu yang terkait dengan intelijen Rusia. Kebijakan baru ini akan melengkapi aturan Twitter yang sudah ada, yang melarang penerbitan media yang dimanipulasi secara digital, klaim palsu tentang pemilu dan pemungutan suara, dan informasi yang salah tentang kesehatan, termasuk klaim menyesatkan tentang COVID-19 dan vaksin. Namun kebijakan baru itu juga bisa berbenturan dengan pandangan miliarder Tesla Elon Musk, yang telah setuju membayar $44 miliar untuk mengakuisisi Twitter dengan tujuan menjadikannya tempat aman bagi kebebasan berbicara. [lt/pp]