Seluruh negara yang diajak berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Indonesia menyampaikan simpati atas posisi sulit Indonesia sebagai Presidensi G20 di tengah besarnya tekanan terkait perang Rusia di Ukraina, dan menegaskan dukungan agar agenda-agenda dialog yang sudah ditetapkan sebelumnya dapat tercapai. Hal ini ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam wawancara khusus VOA di Washington DC, Kamis (21/4). “Siapapun yang kita reach out di sini (di Washington DC.red) – seperti saya dari hari pertama di sini bertemu dengan menteri keuangan India, Afrika Selatan, Brasil, Amerika, Jepang, Inggris, Arab Saudi dan lainnya yang kita reach out, bahkan sebelum di Washington sampai yang hari ini, semua menyampaikan simpati," tegas Sri Mulyani. "Mereka mengatakan kami paham kamu (Indonesia.red) mendapatkan banyak sekali pressure dari berbagai pihak. Tidak ada yang nge-blame kita. Justru mereka ingin mendukung kita dan menyatakan we are with you and we want Indonesia agenda in this meeting will be successful. Jadi saya rasa dalam hal ini kita malah mendapat simpati dan dukungan yang kuat,” tukasnya. Sri Mulyani bersama beberapa menteri lainnya sedang berada di Washington DC untuk mengikuti pertemuan tahunan Menteri Keuangan, Kepala Bank Sentral dan para pengambil kebijakan di bidang ekonomi yang dilangsungkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional yang dikenal sebagai “Spring Meeting.” Sebagai Presidensi G20 dan tuan rumah penyelenggaraan KTT di Bali November nanti, Indonesia memiliki beberapa agenda penting yang diharapkan akan dibahas oleh seluruh anggota negara-negara dengan tingkat perekonomian besar dan berpengaruh di dunia ini. Beberapa agenda dimaksud antara lain upaya pemulihan ekonomi pasca perebakan luas pandemi virus corona, upaya transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi bersih/terbarukan, dan mekanisme pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Namun perang Rusia di Ukraina ikut memberi dampak pada penyelenggaraan acara ini. Sejumlah negara, terutama yang tergabung dalam kelompok negara-negara maju G7 yaitu Amerika, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang dan Uni Eropa, secara terang-terangan meminta Indonesia untuk tidak mengundang Rusia, dan mengisyaratkan tidak akan datang atau mengikuti pertemuan penting ini jika Rusia hadir. Dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Kepala Bank Sentral di Washington DC Rabu lalu (20/4), tiga menteri keuangan, yaitu Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen, Menteri Keuangan Kanada Chrystia Freeland, dan Menteri Keuangan Ukraina Serhiy Marchenko “walk out” atau keluar dari ruangan ketika perwakilan dari Rusia bicara. Sebagian lainnya yang mengikuti forum bergengsi ini secara virtual, mematikan kamera mereka. Sri Mulyani, yang mengaku sudah mengetahui potensi adanya wakil-wakil yang “walk out” dalam pertemuan itu, mengatakan “memang aspirasi dari beberapa negara, terutama G7 dan beberapa negara lainnya, jadi ada sekitar 9-10 negara, menghendaki Rusia tidak diundang. Kita sebagai presidensi menyampaikan bahwa tujuan membentuk forum ini adalah untuk menjaga kerjasama karena dunia akan sangat membutuhkannya dalam menghadapi berbagai persoalan yang sifatnya tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, meskipun ia paling powerful." "Misalnya pandemi, gak mungkin negara seperti RRC atau Amerika menyelesaikannya sendiri. Atau climate change, yang memang menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Tidak mungkin ada satu negara dapat menyelesaikan hal ini sendirian. Jadi dunia itu dihadapkan pada banyak ancaman yang hanya dapat diselesaikan melalui kerjasama. Oleh karena itu, ketika Indonesia menjadi Presidensi G20, kita bertanggungjawab untuk menjaga forum ini agar tetap utuh, tidak pecah, dan kerja sama tetap terjaga karena dunia justru makin membutuhkan kerjasama ini,” imbuhnya. Konsensus Bersama Lebih jauh Sri Mulyani mengatakan keinginan beberapa negara untuk mengisolasi Rusia karena invasi yang dilakukannya terhadap Ukraina, sedianya diputuskan bersama lewat suatu konsensus. “Kalau pun ada keinginan seperti itu, harus disetujui oleh seluruh 20 anggota kelompok ini. Maka menuju pertemuan November nanti, kami terus melakukan konsultasi dengan semua anggota. Waktu itu ada yang menanyakan apakah Rusia akan tetap diundang, ya tentu akan tetap diundang wong dia anggota G20. Lalu kalau diundang, apakah dia akan datang secara fisik atau virtual, ya tentu tergantung dari Rusia sendiri," jelasnya. "Lalu kalau datang, apakah akan diberi kesempatan berbicara, tentu akan diberi kesempatan berbicara. Jika ada sekelompok negara yang tidak bisa berada dalam satu ruang, atau satu meja, atau tidak bisa mendengar dan ingin menunjukkan sikap politik mereka, ya silahkan ketika Rusia bicara. Namun mereka juga mengatakan bahwa mereka akan tetap mendukung Indonesia untuk bisa meneruskan agenda-agenda yang sangat penting,” tegas Sri Mulyani. Diwawancarai secara terpisah melalui telepon, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal PhD. mengatakan langkah yang dilakukan Indonesia sudah tepat karena sesuai dengan posisi sebagai Presiden G20 dan sekaligus mengikuti kebijakan luar negeri yang bebas aktif. “Jadi Indonesia sudah semestinya memperlakukan setiap anggota sama. Jika ada isu-isu yang menjadi masalah dan menimbulkan ketegangan diantara negara-negara anggota, maka sedianya diselesaikan di dalam forum, melalui dialog. Karena walk out misalnya tidak akan menyelesaikan masalah.” Lebih jauh Muhammad Faisal menjelaskan bahwa Rusia memang bukan termasuk 13 mitra utama perdagangan Indonesia, sehingga ketergantungan ekonomi Indonesia pada Rusia relatif lebih kecil dibanding pada Amerika dan lainnya. Tetapi Rusia tetap merupakan mitra yang strategis, yang memiliki hubungan sejarah sangat panjang sejak sebelum kebangkitan nasional Indonesia tahun 1908. “Dan yang kita perlu perhatikan bukan hanya pengaruh ekonominya, tetapi dari sisi kesetaraan, dari sisi upaya mencari jalan tengah. Jadi memang yang paling baik adalah semua anggota datang, karena jika salah satu walk out atau tidak hadir malah akan memperpanjang persoalan dan menyulitkan posisi Indonesia sebagai tuan rumah,” paparnya. Dampak Perang Rusia Jadi Agenda Salah satu agenda penting yang diusulkan dibahas dalam KTT G20 nanti adalah dampak ekonomi akibat perang Rusia di Ukraina. “Perang di Ukraina menimbulkan dampak ekonomi yang besar, yaitu melonjaknya harga pangan, harga energi, material, pupuk dan ini semua menimbulkan risiko lebih besar terhadap perekonomian dunia. Ini akan dibahas. Masalah perang dibahas dari sisi aspek konsekuensi dan dampak ekonomi yang sangat buruk, yang menimbulkan risiko sangat besar,” ujar Sri Mulyani. Pengamat politik internasional di Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Nanto Sriyanto ketika diwawancarai VOA pekan lalu mengatakan memang sedianya para pemimpin negara G20 membahas dampak luas akibat perang Rusia di Ukraina, terlebih karena dunia masih belum benar-benar pulih dari dampak pandemi virus corona. Sementara soal perang itu sendiri dapat dibahas di forum Dewan Keamanan PBB. “Memang kita harus akui ada ketidakseimbangan kekuatan di mana satu negara dapat mendorong agenda yang sebenarnya tidak terlalu relevan pada satu topik. Dalam konteks ini, Indonesia harus menjadi dirigen yang baik,” ujar Nanto. Kelompok G20 adalah forum kerjas ama multilateral yang terdiri dari 19 negara ditambah Uni Eropa. Forum ini merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan global dan 80 persen PDB dunia. Forum ini beranggotakan Amerika, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Prancis, China, Turki, dan Uni Eropa. [em/es]