Meski sudah memiliki kekuatan hukum sejak 2017, pencantuman kepercayaan dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk bagi penghayat kepercayaan, masih sering menemui ganjalan. Ini terjadi, terutama pada penghayat perorangan. Sulitnya mencantumkan kepercayaan dalam kolom agama di KTP bagi penghayat perorangan ini, diceritakan oleh Sri Endang Sulistyowati, Ketua Perempuan Penghayat Indonesia (Puan Hayati) DI Yogyakarta. “Belum terakomodirnya penghayat perorangan untuk mendapatkan layanan, khususnya dalam KTP, karena penghayat perorangan ini tidak tercantum pada database Kementerian Dalam Negeri,” kata Endang. Penghayat perorangan adalah mereka yang memilih menganut kepercayaan atau agama leluhur, tetapi tidak bergabung dalam suatu paguyuban. Padahal data Administrasi Kependudukan (Adminduk) merupakan pokok keabsahan layanan bagi warga negara. “Adminduk ini sebetulnya penting sekali bagi warga penghayat karena dengan identitas Adminduk ini, kita bisa menggunakan hak-hak sipil penghayat yang lain, misalnya untuk pernikahan, pemakaman, atau pendidikan,” ujarnya. Dia memberi contoh, ketika seorang penghayat remaja mencantumkan keterangan sebagai penghayat kepercayaan, dia dapat meminta penyediaan pelajaran kepercayaan di sekolah. Kondisi yang sama berlaku ketika warga penghayat kepercayaan akan melakukan pernikahan. Faktor Internal-Eksternal Endang menjadi pembicara dalam workshop Potret Pelanggaran HAM dan Praktik Baik Kelompok Minoritas di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, Rabu (20/4) sore. Workshop ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, untuk meningkatkan kompetensi jurnalis kedua daerah, dalam isu-isu terkait kelompok minoritas. Pencantuman kepercayaan dalam kolom agama di KTP adalah sejarah baru di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, melalui putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 menegaskan hak pencantuman itu. Kementerian Dalam Negeri menindaklanjutinya, melalui Permendagri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Endang yang juga Sekretaris Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI) DI Yogyakarta menyayangkan hingga saat ini pemahaman aparat pemerintah di daerah belum cukup. “Banyak pemangku kepentingan yang kurang memahami. Jadi, ketika seseorang mau mengambil haknya sebagai warga untuk menggunakan identitas kepercayaan itu, mereka belum mengetahui. Belum tahu,” tambahnya. Namun, Endang juga mengakui ada faktor internal yang masih menjadi hambatan dalam hal ini. Misalnya, pilihan sikap pribadi atau keraguan penghayat kepercayaan terkait pencantuman identitas itu. Kondisi itu kadang muncul karena mereka khawatir dengan prospek kerja di masa depan, jika mencantumkan kepercayaan dalam kolom agama. Organisasi penghayat kepercayaan kadang juga tidak cukup membantu dalam proses tersebut. Beda Wilayah, Beda Layanan Kondisi berbeda diceritakan Gress Raja, Sekretaris MLKI Surakarta yang juga menjadi narasumber dalam workshop ini. Di dua wilayah berbeda, yaitu Solo dan Karanganyar, Gress merasakan sendiri perbedaan layanan yang diberikan. “Di Solo itu termasuk sangat mudah, sangat optimal, pemerintah telah melayani semua hak-hak penghayat terutama dalam pengurusan KTP, itu sangat cepat dan tidak ada kendala apapun,” ujarnya. Pemerintah Kota Solo juga sudah melayani dengan baik penghayat perorangan. Mereka hanya membutuhkan surat rekomendasi dari MLKI. Organisasi penghayat inilah yang kemudian akan melakukan wawancara, untuk mengetahui ajaran kepercayaan yang dianut orang tersebut. “Dia harus mempresentasikan garis besar ajarannya seperti apa. Dia dari tradisi mana. Ajarannya itu namanya apa. Nanti direkomendasinya MLKI. Dan itu sudah terjadi di Solo. Ada beberapa teman yang sudah mendapat KTP penghayat, meskipun dia bukan anggota paguyuban tertentu,” tambah Gress. Sepekan yang lalu, kata Gress, dia turut membantu mengurus KTP untuk penghayat kepercayaan di Kabupaten Karanganyar, yang bersebelahan dengan Solo. Meski jaraknya berdekatan, pelayanan yang diberikan kabupaten tersebut sangat berbeda. Prosedur rumit harus dijalani untuk memenuhi persyaratan yang disebut sebagai dokumen lain. Makna dari dokumen lain ini tidak jelas, dan penghayat diharuskan mencari surat pengantar ke beberapa pihak. “Yang disebut dokumen lainnya, ini kan banyak penafsiran. Di Solo dokumen lainnya itu hanya rekomendasi dari MLKI, itu saja. Di Karanganyar, dokumen lainnya itu ada surat rekomendasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayan, khususnya bidang kebudayaan,” kata Gress. Proses itu akhirnya berputar-putar dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, MLKI dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Penerimaan Belum Tulus Dr Samsul Maarif, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM menyebut kondisi semacam ini masih terjadi karena persoalan yang belum selesai. “Di antara yang menurut saya menyebabkan itu adalah di aturan kita belum beres. Penerimaan masyarakat terhadap penghayat kepercayaan ini belum stabil, belum tulus,” ucapnya. Samsul menilai mereka yang menempatkan penghayat sebagai pihak yang berbeda dan berstatus lebih rendah dari pemeluk agama, kemudian memperlakukan penghayat secara berbeda pula. “Ini adalah orang yang menurut saya, jiwa kebangsaannya belum tulus untuk melihat bangsa ini hidup bersama secara inklusif,” tambahnya. Samsull menambahkan penerimaan masyarakat dan aparat negara hingga di level bawah yang sebagian masih resisten, menunjukkan komitmen kebangsaan yang belum tulus. Semua itu, tambahnya, merupakan tantangan bagi seluruh pihak. [ns/ab]