Breaking News >> News >> Voice of America


RUU Narkotika Baru: Penjara Bagi Pecandu Dinilai Tak Lagi Perlu


Link [2022-03-31 17:55:10]



Pemerintah dan DPR telah memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang amandemen atas UU 35/2009 tentang Narkotika. Salah satu isu pentingnya adalah pembedaan perlakuan bagi pecandu dan pengedar narkotika. Jika selama ini pelaku penyalahgunaan narkotika secara umum akan menghadapi tuntutan pidana dan dipenjara, ke depan terbuka kemungkinan kondisinya akan berubah. Dalam rapat kerja pemerintah dan Komisi III DPR RI, Kamis (31/3), disepakati adanya perubahan atas UU 35/2009, yang selama ini menjadi dasar pemidanaan. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly, pada rapat itu menyebut upaya rehabilitasi akan dikedepankan. “Seharusnya, penanganan terhadap pecandu narkotika, penyalahguna narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, difokuskan pada upaya rehabilitasi, melalui mekanisme asessment yang komprehensif dan dapat dipertangungjawabkan,” papar Yasonna. Asesmen yang disebut Yasonna, akan dilakukan tim terpadu yang terdiri dari dokter psikolog dan psikiater dari unsur medis, serta penyidik, penuntut umum dan pembimbing kemasyarakatan dari unsur hukum. Yasonna juga mengatakan UU 35/2009 dalam pelaksanaannya belum memberikan konsepsi yang jelas tentang pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika. Perlakuan yang sama terhadap ketiganya dengan bandar atau pengedar narkotika, lanjut dia, menimbulkan ketidakadilan dalam penanganan. “Ini juga sejalan dengan upaya untuk mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan,” lanjut Yasonna. Dalam pemikiran terhadap upaya amandemen UU 35/2009 ini menurut pemerintah adalah karena narkotika, sebenarnya merupakan zat atau obat yang dapat bermanfaat dalam kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Jika digunakan tidak sesuai standar pengobatan, zat atau obat ini dapat menimbulkan ketergantungan. Karena itulah, fokus harus diberikan pada penyalahgunaan dan peredaran gelapnya. Setidaknya ada enam bagian yang akan diperbaiki dari UU 35/2009 ke dalam RUU yang baru. Yasonna menyebut akan ada pembahasan mengenai zat psikotropika, penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai rehabilitasi dan ketentuan tim asesmen terpadu. RUU yang baru juga akan memuat tentang penyidik BNN serta kewenangannya, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu serta penyempurnaan ketentuan pidana. DPR Setuju Revisi UU DPR secara umum setuju dengan pandangan pemerintah terkait perubahan yang akan dilakukan dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika. Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan misalnya, menyatakan revisi UU Narkotika harus diarahkan untuk mendorong kebijakan nasional dalam memberikan perlindungan bagi warga negara melalui pencegahan dan pemberantasan perendarannya. Langkah itu bisa diwujudkan melalui dukungan penguatan wewenang, prasarana dan anggaran yang memadai bagi Badan Narkotika Nasional (BNN). “Penguatan terhadap BNN tentu menjadi langkah strategis, guna meningkatkan performa kelembagaan agar lebih optimal dalam penanganan, pencegahan dan pemberantasan narkotika,” kata Trimedya. Sementara Golkar, melalui anggota Komisi III Rudi Mas’ud, mengajak seluruh pihak memperhatikan peningkatan jumlah kasus penyalahgunaan narkotika dan membandingkannya dengan sumber daya penegak hukum serta kapasitas lembaga pemasyarakatan. “Seharusnya aspek kebijakan lebih diutamakan pada pendekatan pencegahan dalam menangani penyalahgunaan narkotika, yang dilakukan secara integral dan dinamis,” ujarnya. Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem menyoroti tingginya kasus narkotika yang membuat Lembaga Pemasyarakatan kelebihan kapasitas. Mengutip hasil survei BNN dan BRIN pada 2019, Basari mengatakan narkoba menjadi persoalan sosial terbesar ketiga di Indonesia yang porsinya mencapai 15,5 persen. Di atasnya ada kasus pencurian sebesar 30,6 persen dan minuman keras sebanyak 29,5 persen. Indonesia, lanjut Basari, tercatat sebagai target sasaran peredaran narkotika internasional karena memiliki pangsa pasar dan daya beli tinggi. “Implementasi UU 35/2009 selama tiga belas tahun telah terbukti berkontribusi pada timbulnya masalah lain, salah satunya isu yang paling krusial adalah meningkatnya angka over crowded pada lapas atau rutan di Indonesia akibat dihuni oleh lebih dari 70 persen narapidana dari kasus narkotik,” ujarnya. Data Dirjen Pemasyarakatan Kemkum HAM menyebut Indonesia mengalami kelebihan kapasitas hingga mencapai 163 persen dengan total 225.521 narapidana, dan 44.442 tahanan. “Jumlah warga binaan pemasyarakatan dengan tindak pidana narkotika menempati urutan pertama, yakni sebanyak 137.774 orang,” lanjut Basari. Kondisi ini menciptakan ekosistem alami yang justru menambah persoalan, yaitu peredaran dan pengunaan narkotika di dalam lapas. Sementara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera melalui Adang Daradjatun meminta perubahan UU Narkotika dilakukan scara holisitik dan tidak terpaku pada isu rehabilitasi. PKS meminta instrumen hukum harus dapat mendorong peran aktif masyarakat dan keluarga dalam fungsi pencegahan, penanggulangan kejahatan narkotika. “Kebijakan pemidanaan harus dirumuskan secara tepat dan cermat sehingga tindakan terhadap korban dan pecandu narkotika selaras dengan pendekatan rehabilitasi. Sementara delik terhadap bandar, kurir, produsen dan aparat penegak hukum yang terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika, diperberat ancaman pidananya,” kata Adang.   Menurut PKS, substansi RUU yang perlu penyempurnaan antara lain adalah pelembagaan tim asesmen terpadu menjadi suatu pasal tersendiri. UU baru juga harus membuka ruang bagi korban untuk diberikan hak mengajukan permohonan asesmen. Ketentuan dalam UU Narkotika perlu mempertimbangkan kebijakan khusus yang bersifat affirmative action, sehubungan pembiayaan rehabilitasi bagi korban atau pecandu narkotika dari kelompok ekonomi lemah. PKS juga mendorong pemidanaan bagi keluarga yang tidak melaporkan penyalahgunaan atau pecandu narkotika. [ns/ah]  



Most Read

2024-09-16 15:07:36