Breaking News >> News >> Voice of America


Program Biodiesel Dinilai Tak Berpihak Pada Petani Sawit Kecil


Link [2022-01-31 18:33:57]



Sesuai janji politik saat kampanye, pemerintahan Joko Widodo serius menjalankan program biodiesel, khususnya dari sawit. Namun sepanjang perjalanannya, program ini dinilai tidak cukup berpihak pada kepentingan petani sawit kecil.  Dari total 14,3 juta hektar lahan sawit di Indonesia, 51 persen dikelola grup usaha besar baik nasional maupun asing, tujuh persen oleh BUMN dan sekitar 40 persen milik petani. Dari sisi produksi, petani sawit menyumbang sekurangnya 33 persen dari jumlah total yang mencapai 48 juta ton, atau sekitar 14 juta ton.   Karena itu, menurut peneliti dan penulis buku, Ferdy Hasiman, produksi CPO nasional sebenarnya menerima sumbangan besar dari petani kecil. Sayangnya, dukungan negara untuk kelompok ini kecil, seperti yang terlihat dalam program biodiesel. Produksi biodiesel nasional kaa Ferdy, kuotanya hanya diserahkan kepada 18 perusahaan sawit besar.     “Realita di lapangan, ditemukan bahwa nasib petani sawit dengan korporasi itu sangat berbeda. Jadi, kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit. Korporasi selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan politik. Ini yang disebut kekuatan oligarki dan bisnis orang kuat,” kata Ferdy.  Korporasi Besar, Jatah Besar  Ferdy menulis sebuah buku yang khusus mengupas tema ini, berjudul Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis biodiesel. Buku tersebut dibedah bersama sejumlah pembicara, dalam sebuah diskusi pada Senin (31/1).   Delapan belas perusahaan yang menerima kuota produksi biodiesel itu, lanjut Ferdy, adalah grup-grup perkebunan sawit besar. Satu perusahaan ada yang menerima kuota hingga lebih daeri 1 juta kiloliter.  “Sementara ratusan perusahaan kecil dan petani sawit, itu tak menentu nasibnya,” kata Ferdy.  Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi besar semakin terlihat, karena pemerintah membagikan dana bagi hasil pajak melalui Badan Pengelola Dana Pekerbunan Kepala Sawit (BPDPKS). Ada korporasi besar, yang bisa menerima dana lebih dari Rp 4 triliun dari lembaga ini, sementara korporasi lain yang kecil sekurangnya menerima Rp 1 triliun. Dana itulah yang mereka gunakan untuk membangun pabrik biodiesel.  Dana tersebut diperoleh dari pajak ekspor sawit. Secara tidak langsung, sebenarnya dana itu dikumpulkan dari para petani sawit juga. Namun pada akhirnya, mereka tidak ikut merasakan manfaatnya.   “Sejumlah kelompok bisnis besar menerima total Rp 42,1 triliun pada 2019. Mereka mendapat jatah subsidi dari BPDPKS. Itu angkanya sangatlah besar. Menurut kami, tanpa diberi insentif dan dana dari negara, korporasi-korporasi ini seharusnya sudah bisa membangun pabrik di hilir, karena memang paradigma-nya menuntut mereka untuk melakukan hilirirasi,” tambah Ferdy.  Pemerintah telah menetapkan alokasi biodiesel pada tahun ini mencapai 10,1 juta kiloliter. Tahun lalu, angkanya baru mencapai 9,4 juta kiloliter. Angka tersebut memang terus meningkat sejak program biodiesel ditetapkan. Pada 2017 ada di angka 3,42 juta kiloliter, lalu menjadi 6,17 kiloliter pada 2018, dan naik lagi ke 8,4 juta kiloliter pada 2019 dan 2020.   Korporasi Tentukan Pemanfaatan   Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyebut, kondisi di atas tidak lepas dari struktur dan tata kelola kelembagaan BPDPKS sendiri.   “Dalam beberapa kali rapat dengar pendapat dengan Komisi 4 DPR, dengan Panja Sawit, berkali-kali, Dirut BPDPKS selalu menjawab, tidak bisa mengambil kebijakan terkait dengan alokasi dan distribusi dana, yang punya kewenangan adalah komite pengarah,” ujar Darto.  Komite Pengarah BPDPKS dipimpin oleh Menko Perekonomian. Airlangga Hartarto. Di bawahnya, ada tujuh kementerian yang terlibat. Selain itu, dipilih tiga pejabat berlatar belakang profesional, yang semuanya selalu merupakan pemilih korporasi sawit besar. Tiga orang yang dipilih saat ini misalnya, kata Darto, jika dijumlahkan mengelola sekurangnya 1,5 juta hektar lahan sawit.   Unsur perwakilan petani sawit justru tidak dominan dalam BPDPKS, sehingga tidak mengherankan jika kepentingan petani sawit kecil tidak terakomodasi.   “Sampai dengan sekarang, mulai dari berdirinya BPDPKS itu hanya sekitar Rp 4 triliun dana untuk petani, dari sekitar Rp 100 triliun. Dan 80 persen dari dana itu, untuk biodiesel,” tambah Darto.   Darto menyebut, BPDPKS telah mengalokasikan dana Rp 57,72 triliun untuk program biodiesel hingga 2020. Sedangkan tahun lalu, dana yang ada kurang lebih Rp 107 triliun.  Petani hanya bisa menerima dana itu, misalnya untuk program peremajaan pohon kelapa sawit. Dianggarkan dana Rp 30 juta untuk setiap hektarnya. Namun ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kelembagaan petani. Anehnya, BPDPKS tidak pernah membuat program untuk menyiapkan petani sawit kecil, agar mampu berkoodinasi dalam lembaga sehingga bisa mengakses dana itu.  “Strategi pembinaan, pembangunan kelembagaan sebelum peremajaan sawit itu tidak ada sama sekali,” ujar Darto.   Harus Kembali ke Petani  Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri mengaku kaget ketika mengetahui pertama kali, bahwa perwakilan petani kecil tidak ada dalam BPDPKS. Wajar jika kemudian kepentingan mereka juga tidak diperjuangkan di dalamnya.   Padahal, petani sawit jelas turut mendukung angka ekspor nasional.  “Kita lihat strukturnya. Tidak ada petani yang langsung mengekspor sawit. Pasti dia lewat tengkulak, kemudian pengepul, kemudian lewat trader yang mengekspor,” ujarnya.   Namun, jelas bahwa petani ada dalam rantai produksi hingga ke ekspor itu. Wajar jika kemudian ada perhitungan proporsional, sehingga ada dana yang jelas ditujukan bagi petani kecil.   “Dana diambil dari komunitas sawit, dikembalikan ke komunitas sawit untuk riset, promosi, replanting kemudian dana stabilitasi. Jadi kalau harga sawit anjlog, petani dibantu,” paparnya.   Pengaruh ke Politik   Anggota DPR, Benediktus Kabur Harman setuju, pebisnis besar sangat berpengaruh dalam perputaran uang di program biodiesel.   “Kepentingan orang-orang kuat di dalam bisnis biodiesel ini sangat dominan. Jadi, jalan atau tidak jalan program ini, menurut saya tergantung pada kehendak orang-orang kuat ini. Apabila bisnis biodiesel menguntungkan orang kuat ini, ya pasti jalan. Kalau tidak, yang tidak jalan,” ujar Benny.   Satu fenomena yang aneh dalam sektor sawit, menurut Benny adalah bahwa di satu sisi, pemerintah membiarkan hutan dirambah. Tetapi di sisi lain, pengembangan biodiesel itu sangat tergantung oleh para pebisnis besar itu sendiri.   Pengaruh mereka, lanjut Benny, bahkan masuk ke ranah politik. “Yang kita takutkan, hutan tadi dikuasi oleh segelintir orang kuat di dalam bisnis ini. Kemudian orang-orang di dalam bisnis ini, karena uangnya begitu besar dan begitu menentukan, dia ikut mempengaruhi demokrasi elektoral yang kita jalankan,” tandasnya.  [ns/ab]



Most Read

2024-11-06 00:05:17