Technology >> Voice of America


Pesona Wisata Bali Tercoreng Masalah Sampah


Link [2022-06-11 15:32:17]



Tersingkirnya Bali dari daftar 10 tujuan wisata terpopuler dunia tahun ini, membuat banyak pihak mempertanyakan penyebabnya. Ada yang menuding pandemi COVID-19 dengan segala konsekuensinya, termasuk pembatasan kedatangan luar negeri, karantina dan aturan visa, menjadi faktor pemicunya. Namun, tidak sedikit yang menuding bahwa sampah, terutama plastik, yang jadi masalahnya. Benarkah? “Ketika saya tinggal di sana (Bali, red), saya selalu pergi dan pulang dari pusat kebugaran sambil olahraga lari. Saya lihat jalan-jalan berdebu dengan sampah berserakan di sana-sini. Jalan-jalan itu tidak terurus. Saya kira orang-orang Bali kurang begitu peduli dengan sampah. Saya kira itu bukan prioritas mereka.” Itu pernyataan Craig Smith, seorang turis Amerika yang belum lama ini berkunjung ke Bali. Ia memprihatinkan betapa kotornya jalan-jalan di Denpasar, Bali. Pria berusia 56 tahun yang gemar keliling dunia ini mengatakan, popularitas Bali sebagai tujuan wisata bisa anjlok bila masalah sampah tidak tertangani dengan baik. Ia terutama mengeluhkan sampah plastik, yang tidak mudah terdekomposisi dan merusak lingkungan. Smith hanyalah satu dari banyak turis asing yang memprihatinkan masalah sampah di Bali. Sejumlah media besar – termasuk The Guardian, CNN, dan National Geographic – belakangan ini sering menyorot bagaimana turis-turis asing mengeluhkan masalah sampah, dan betapa Bali kesulitan menanggulangi sampah. Sampai-sampai tak sedikit wisatawan yang menyebut Bali sebagai “the Island of Trash”. Media-media asing itu menggambarkan, pantai-pantai terkenal di Bali seperti Kuta, Seminyak dan Legian, hampir setiap hari dipenuhi sampah. Padahal pantai adalah daya tarik utama pariwisata. Masyarakat Indonesia, khususnya Bali, sebelumnya sempat bangga karena pulau itu sempat menduduki posisi nomor satu tujuan wisata dunia dalam daftar Traveler Choice Award versi Trip Advisor pada 2021. Namun, pada tahun ini, sama sekali tersingkir dalam daftar 10 besar itu. London, yang sempat digeser Bali pada 2021, tahun ini kembali ke posisi puncak seperti tahun 2020.   Gary Bencheghib, pendiri bersama Sungai Watch, organisasi nirlaba yang bertujuan mengatasi masalah sampah, terutama plastik, di sungai-sungai Indonesia, memahami keprihatinan para turis asing itu. Pria yang sudah 18 tahun tinggal di Bali tersebut mengatakan, sebetulnya kesadaran akan sampah di kalangan masyarakat di pulau itu sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi. Hanya saja, katanya, sarana dan prasarana penanggulangan sampahnya masih belum memadai. Bencheghib menegaskan, sampah-sampah yang ditemukan di banyak pantai di Bali sebetulnya kiriman dari sungai-sungai yang bermuara ke laut, dan bukan karena kebiasaan buruk dalam membuang sampah di kalangan orang-orang yang sering berkunjung ke pantai atau memanfaatkan pantai sebagai sumber mata pencaharian. Karena itu pula, menurutnya, penting untuk mengatasi kebiasaan orang membuang sampah di sungai. Sungai Watch sendiri sudah lebih dari setahun ikut menanggulangi masalah sampah di Bali. Namun, Bencheghib mengaku, kontribusi organisasinya relatif sangat kecil dibandingkan dengan banyaknya sampah yang diproduksi Bali setiap tahunnya. “Sebuah studi yang dilakukan Bali Partnership pada 2019 menunjukan ada lebih dari 33.000 ton sampah plastik setiap tahunnya yang dilakukan sungai-sungai di Bali ke laut. Kita sejauh ini baru mengumpulkan hampir 400 ton dalam waktu sekitar 15 bulan. Itu berarti hanya satu persen dari sampah plastik yang ada di Bali setiap tahunnya,” jelasnya. Sungai Watch sejauh ini telah menempatkan 120 jaring sungai di 35 desa di Bali. Jumlah itu masih terbilang kecil mengingat jumlah sungai di Bali lebih dari 390. Organisasi itu melibatkan warga setempat untuk mengumpulkan sampah-sampah yang terjaring, menyortirnya, dan mendaur ulang sampah plastiknya untuk produk yang lebih bermanfaat. Melibatkan masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan sungai, kata Bencheghib, merupakan cara terbaik untuk menggugah kesadaran mereka. Selain meningkatkan kesadaran warga untuk peduli sampah, Bencheghib menegaskan Bali, atau Indonesia secara umum, perlu membangun prasarana pengelolaan sampah yang andal, mengingat Indonesia adalah salah satu penghasil sampah terbesar di dunia. “Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Karena begitu banyaknya sampah yang dihasilkan, kita perlu prasarana yang memadai untuk mengatasi masalah ini,” lanjut Bencheghib. Keterkaitan masalah sampah dan popularitas Bali sebagai tujuan wisata sebetulnya juga tak lepas dari perhatian para pejabat di Indonesia. Anggota DPD RI Dapil Bali, Made Mangku Pastika, contohnya, secara tersirat pernah menyatakan bahwa keengganan wisatawan mancanegara berkunjung ke Bali adalah karena masalah sampah. Ia mengimbau pemerintah daerah Bali agar menggalakkan upaya penanggulangan sampah. Gubernur Bali, Wayan Koster, sebagaimana dikutip Daily Mail Australia, juga mengakui belum efektifnya penanganan sampah di Bali, serta eratnya masalah sampah dan daya tarik wisata. Ia sendiri mengaku telah mengambil sejumlah langkah serius untuk membersihkan pantai-pantai yang sering dikunjungi wisatawan, dan bahkan menargetkan Bali yang bersih sebelum menjadi tuan rumah KTT G-20 November mendatang. Masalah sampah di Bali juga merupakan salah satu fokus perhatian Melati Wisjen, seorang aktivis lingkungan yang tinggal di pulau itu. Setelah berhasil meloloskan prakarsanya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik melalui program "Bye Bye Plastic Bags" yang didirikan bersama saudara perempuannya Isabel Wijsen pada tahun 2013, ia menggelar program tahunan yang disebut “Bali Biggest Clean-Up" . “Bali Biggest Clean-Up” ke-6, yang diselenggarakan Februari tahun ini dan sebagai bagian dari peringatan Hari Peduli Sampah, berhasil mengumpulkan 88.000 potongan plastik di 130 lokasi dan melibatkan sekitar 4.000 orang, termasuk turis domestik dan asing. Menurut Melati, partisipasi masyarakat Bali sendiri luar biasa tinggi. “Sekitar 90 persen orang yang terlibat dalam program Clean-Up ini adalah orang Bali. Sekitar 10 persen sisanya, turis atau orang asing yang kebetulan berada di sini. Sungguh luar bisa melihat solidaritas, kekukuhan dan komitmen warga setempat.” Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Bali mengakui masalah sampah belum berhasil tertangani dengan baik. Pada satu hari di bulan Desember 2021, dinas tersebut berhasil menjaring 30 ton sampah di sepanjang Pantai Kuta. Puluhan ton sampah lainnya ditemukan di pantai Jimbaran, Legian, dan Seminyak. Yang tak kalah memprihatinkan, sebagian besar sampah itu berupa plastik, materi yang tidak mudah terdekomposisi. [ab/uh]



Most Read

2024-11-05 07:23:59