Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun ini mencapai 101 orang, baik gubernur, bupati maupun wali kota. Situasi yang sama juga akan terjadi pada 2023 di 171 daerah. Sejumlah pengamat mengatakan, presiden, sebagai penentu pejabat sementara di wilayah-wilayah itu, secara politik akan sangat diuntungkan. Peneliti dari Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jamaludin Ghafur menilai, pihak eksekutif akan sangat diuntungkan oleh penyelenggaraan Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak 2024. Undang-undang, kata Ghafur, hanya menyatakan bahwa Pilkada pada 2022 dan 2023 tidak dilaksanakan, dan kepala daerah akan diisi oleh Pejabat Sementara (PJS). Tidak ada aturan lebih detil mengenai bagaimana pengisian PJS itu sendiri. “Pada akhirnya, ini kemudian bergantung kepada selera Presiden, selera eksekutif. Dan itu menurut saya sangat berbahaya sekali, karena bisa jadi kemudian pejabat-pejabat gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat oleh eksekutif itu, justru akan menjadi alat politik kekuasaan. Jadi tidak lagi menjadi alat pelayan bagi masyarakat,” kata Ghafur, dalam diskusi terkait Pilkada serentak 2024 yang diselenggarakan PSHK UII, Jumat (21/1). Strategi untuk Pilpres 2024 Ghafur menambahkan, semua pihak memahami, posisi kepala daerah terkait dengan penyelengagraan Pilpres dan Pileg 2024 sangat strategis, khususnya dalam menggalang dukungan. Kondisi seperti ini seharusnya sudah diantisipasi, khususnya oleh para politisi sendiri. Sayangnya, justru anggota DPR tidak memperhatikan kemungkinan itu. “Saya tidak tahu, kenapa justru partai-partai politik di DPR kita itu mendesain begitu.Bahwa untuk PJS yang sangat lama, 2 tahun lebih, tidak dilakukan dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD, misalnya,” tandas Ghafur. Padahal, mekanisme pemilihan PJS oleh DPRD itu akan menghasilkan pejabat yang lebih netral dan lebih demokratis, dari aspek demokratisasi. Ghafur khawatir, pemerintah akan menggunakan kewenangan ini tanpa memperhatikan aturan yang ada. Misalnya, telah disepakati bahwa gubernur, bupati atau wali kota tidak boleh berasal dari anggota TNI atau Polri aktif. Namun, sebelum ini, dalam pengangkatan PJS, pemerintah pernah memilih anggota TNI atau Polri aktif. Alasan yang diberikan adalah karena itu sekedar PJS. Padahal, kata Ghafur, yang harus ditaati adalah aturan bahwa gubernur, bupati atau wali kota sebagai jabatan yang diemban, tidak boleh dipegang oleh anggota TNI atau Polri aktif. “Nah, ini yang saya kira memang tidak bisa kita cegah. Karena pengangkatan pejabat gubernur, bupati, dan wali kota itu menjadi semacam cek kosong yang diberikan oleh undang-undang kepada Presiden,” tambahnya, PJS Terlalu Lama, Bermasalah Ferry Kurnia Rizkiyansyah dari Jarigan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) mengatakan, PJS sebenarnya elemen biasa dalam demokrasi Indonesia. Ketika masa jabatan kepala daerah berakhir menjelang Pilkada, PJS hadir selama beberapa pekan. Namun kali ini, PJS yang dipillih pemerintah bertugas begitu lama, hingga bisa lebih dari dua tahun. “Satu hal yang harus dicermati adalah terkait dengan problematika konstitusi, yang muncul karena Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 mengamanatkan bahwa gubernur, bupati dan wali kota itu dipilih secara demokratis,” kata Ferry. Masalah kedua adalah soal legitimasi. Proses pemilihan PJS yang dilakukan pemerintah, tentu akan melahirkan keraguan terkait legitimasinya. Masalah ketiga adalah kewenangan-kewenangan yang menempel pada posisi jabatan kepala daerah itu. Aturan hukum yang ada saat ini, kata Ferry memberi contoh, antara lain memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda). Selain itu, kepala daerah juga berhak mengeluarkan aturan-aturan hukum pendukung lainnya serta mengambil keputusan-keputusan yang strategis dan mendesak. Masih menjadi pertanyaan, apakah kewenangan itu akan dijalankan oleh PJS. “Bagaimana pula, ketika misalnya ada yang melakukan mutasi pegawai. Atau ada yang mau membatalkan perjanjian dan sebagainya,” tandas Ferry. Mestinya Dua Kali Serentak Semua kelemahan Pemilu serentak dalam satu tahun yang sama ini membuat Titi Anggraini dari Perludem, meyakini Indonesia seharusnya memiliki dua kali Pemilu serentak. Pertama adalah Pemilu serentak nasional, yang memilih anggota DPR, DPD dan Presiden. Setelah itu, dua tahun kemudian dilakukan Pemilu serentak lokal, untuk memilih anggota DPRD, gubernur dan bupati atau wali kota. “Periodisasi masa jabatan yang disamakan itu menurut saya justru melemahkan kontrol kita terhadap upaya mendorong kinerja kelembagaan partai yang lebih baik. Kita harus menunggu lima tahun untuk mengevaluasi partai politik kita dan pejabat publik kita,” kata Titi dalam diskusi tersebut. Dalam skema yang baru, Indonesia memang akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, gubernur, bupati atau wali kota secara bersamaan. Akibatnya, seperti kata Titi, evaluasi terhadap partai hanya bisa dilakukan sekalai dalam lima tahun. Dengan skema dua Pemilu serentak yang disampaikan Titi tadi, setidaknya setiap 2,5 tahun pemilih memiliki kesempatan melakukan evaluasi terhadap partai atau pejabat publik. “Selesai Pemilu nasional, dua tahun kemudian ada Pemilu lokal. Maka partai politik dituntut terus mempertahankan kinerja dan performa politiknya. Dan rakyat juga lebih punya ruang melakukan evaluasi secara berkala,” tambah Titi. Dengan kesempatan evaluasi politik lebih sering itu, lanjut Titi, relasi antara partai politik dengan konstituen akan dijaga dengan baik. [ns/ab]