Panggung hiburan yang digelar 22 Mei 2022 di halaman balaikota masih tersisa kemeriahannya. Pegawai di lingkungan Pemerintah Kota melepas Wali Kota Yogya Haryadi Suyuti setelah lima belas tahun menjadi pimpinan mereka dengan nyanyian dan gelak tawa. Haryadi sendiri tak mau kalah tampil menyanyi bersama bintang tamu Ndarboy Genk. Suaranya pas-pasan ketika membawakan lagu populer, Mendung Tanpo Udan. “Namun sekarang sudah jadi kenangan. Aku dan kamu sudah berpisah. Aku ke kiri, kamu ke kanan, sudah berbeda jalan. Walaupun sudah berbeda jalan, tetapi masih satu tujuan, Yogyakarta Istimewa...,” teriak Haryadi di depan penonton, yang mayoritas bawahannya sendiri. Isi lagu itu menjadi kenyataan pada Kamis (2/6), setelah Haryadi ditangkap KPK karena kasus suap perizinan proyek apartemen yang dikembangkan PT Summarecon Agung. Ada uang lebih dari 27 ribu dollar AS diterima Haryadi dari pengembang itu agar proposal pembangunan apartemen yang melanggar aturan disetujui. Kader Partai Golkar itu lima belas tahun berkantor di Balaikota Yogya, lima tahun sebagai wakil wali kota dan sepuluh tahun sebagai pimpinan tertinggi disana. Sepuluh hari setelah menyanyikan lirik aku ke kiri, kamu ke kanan, Haryadi benar-benar berbeda tujuan dengan warganya. Dia lesu tertunduk menuju ke Gedung KPK di Jakarta. Permainan Perizinan Tepat di hari yang sama, ketika Haryadi ditangkap KPK, seorang pengusaha periklanan datang ke balaikota. Dia mengurus izin iklan luar ruang untuk kliennya. Hendra, nama samaran pengusaha itu, geram karena permohonan izin yang dia sampaikan ditolak tanpa alasan jelas. “Izin ditolak, tetapi tidak ada keterangan apapun mengapa ditolak. Jadi, saya tidak tahu bagian mana yang harus diperbaiki, agar permohonan itu bisa diterima,” katanya kepada VOA, Sabtu (4/6). Lebih mengherankan lagi, dalam kesempatan berbeda Hendra sempat ditemui pihak tertentu yang bisa membantu memuluskan izin bidang periklanan. Biaya jasa kepada oknum itu, lebih tinggi dari biaya iklan itu sendiri. “Saya hendak memasang iklan di satu lokasi, menurut staf di balaikota tidak bisa karena kawasan terlarang. Lalu saya tunjukkan foto-foto bahwa pernah ada iklan di titik yang sama. Staf disana diam saja,” lanjut Hendra. Hendra meyakini, permainan semacam ini yang membuat iklim usaha menjadi tidak sehat. “Makanya tidak cukup dengan OTT. Harus ada pengawasan melekat karena menurut saya ini sistemik. Kalau staf-staf yang mengurus perizinan masih sama, caranya juga akan tetap seperti sekarang,” tambah Hendra. Problem Laten Kebijakan Pemerintah kota Yogyakarta sebenarnya memendam problem laten terkait sejumlah kebijakan, khususnya perizinan. Sejumlah warga berinisiatif melakukan kampanye untuk melawan berbagai kebijakan itu. Jogja Ora Didol, Jogja Asat, Festival Seni Mencari Haryadi, adalah sejumlah slogan perlawanan warga terhadap wali kotanya sendiri. Kelompok masyarakat mengkritisi sejumlah kebijakan yang mereka nilai berdampak buruk bagi kota yang mereka cintai. Salah satu pegiat gerakan ini, Dodok Putra Bangsa, merelakan rambut panjangnya habis dicukur pada Sabtu (4/6), setelah Haryadi ditahan KPK. “Ini pecah telur kasus di Yogya. Semoga menjadi awal yang baik untuk perkembangan penindakan koruspi di Yogyakarta,” kata Dodok, sambil memecahkan telur di papan nama Kantor Walikota Yogyakarta. Ekspresi Dodok, mewakili perasaan sebagian warga kota yang kesal karena berbagai kebijakan yang selama ini diterapkan, merugikan mereka. Jogja Ora Didol (Jogja Tidak Dijual) dan Jogja Asat (Jogja Kering) digelar karena kekesalan karena Haryadi mengobral izin pembangunan hotel. Dalam satu kasus, hotel yang mengambil air tanah, membuat sumur warga di sekitarnya kering. Ini adalah perlawanan jangka panjang, sejak sekitar 2014 dan terus berlangsung selama Haryadi menjadi wali kota. “Memang, kerusakan sudah terlanjur terjadi. Penggusuran sudah berlangsung. Hotel dan apartemen sudah berdiri. Tetapi, satu kasus ini akan menjadi cermin atas akuntabilitas seluruh proses perizinan hotel dan apartemen oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di tahun-tahun sebelumnya. Pengungkapan kasus-kasus lain harus terus diupayakan,” paparnya. Dodok mendasarkan aksi perlawanan panjang ini, pada keprihatinan memburuknya lingkungan perkotaan akibat izin pembangunan hotel dan apartemen yang terus mengalir. Di sisi lain, sumur-sumur warga justru kehilangan aliran air. Dodok mandi pasir di depan salah satu hotel pada 2014 untuk menggambarkan bagaimana susahnya warga hidup kekurangan air. Warga mencatat, setidaknya ada 104 izin pembangunan hotel pasca 2013 yang harus dikritisi. Dodok mengulang aksinya pada 2016 dengan mandi air kembang tujuh rupa dari tujuh sumur di depan Balaikota Yogyakarta. Mei 2018 sekelompok warga menggelar ruwatan bumi Yogyakarta. Sedangkan 2019, Dodok kembali beraksi dengan ritual kencing di depan balaikota, sebagai upaya menolak aura negatif. “Sebagai warga yang berdaya, upaya untuk mengawal kebijakan pembangunan dan penegakan hukum harus terus dilakukan. Kebenaran dan keadilan tidak bisa datang dengan sendirinya, melainkan harus terus diperjuangkan,” tegas Dodok. Butuh Perbaikan Sistem Kepala Ombudsman RI Kantor Perwakilan DI Yogyakarta, Budhi Masthuri, mengakui perizinan adalah isu dominan di Yogyakarta. “Ya, isu soal layanan perizinan apartemen dan hotel beberapa tahun belakangan memang termasuk yang di banyak laporkan ke ORI DIY. Terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,” kata Budhi ketika dihubungi VOA, Sabtu (4/6). Masalah sering muncul, kata Budhi, karena regulasi dan prosedur baru yang tidak lagi memberi ruang cukup bagi masyarakat sekitar lokasi sebah proyek pembangunan, untuk melakukan kontrol melalui mekanisme persetujuan. “Menurut saya, ini menjadikan potensi penyimpangan perizinan lebih terbuka, terutama terkait akseptabilitas sosial di sekitar lokasi. Saya kok tidak melihat ini sebagai sebuah perbaikan proses, kalau percepatan proses, mungkin saja,” lanjut Budhi. Tentu dibutuhkan perubahan kebijakan, misalnya kata Budhi, transparansi proses perizinan. Dalam kasus pembangunan hotel atau apartemen misalnya, masyarakat terutama yang berada tinggal di sekitar lokasi, harus diberi ruang partisipasi lebih luas untuk ikut mengawasi. Mekanisme dan prosedur yang dibangun, juga harus mendukung upaya-upaya pencegahan KKN dalam proses perijinannya. Budhi memberi contoh, yaitu masalah syarat, tarif, mekanisme dan prosedur standar operasinya harus dibuka secara transparan. “Sehingga masyarakat bisa mengecek, apakah syaratnya sudah terpenuhi atau belum. Tarifnya sesuai atau tidak. Jika memang syarat belum lengkap, masyarkaat jangan memaksa dilanjutkan pelayanannya, apalagi dengan memberi suap. Selain karena petugasnya nakal, praktek suap sangat mungkin juga dimulai dari pemohon,” tegas Budhi. Budhi menduga, OTT KPK hanya sebuah puncak gunung es persoalan dalam birokrasi dan politik. Begitu rumitnya kaitan banyak hal mulai politik rente dan ongkos politik yang mahal. Namun, selalu ada yang bisa dipetik dari peristiwa yang terjadi. “Menurut hemat saya, ini bisa menjadi momentum pembelajaran kepala daerah lainnya, bahwa transparansi dengan melibatkan publik dalam proses pembangunan, terutama dalam hal pengawasannya setidaknya bisa mengurangi praktik KKN. Maka, dengarkan dan tindaklanjutilah suara-suara kritis warga,” tandasnya. [ns/ah]