Invasi Rusia ke Ukraina telah memang memperburuk situasi perdagangan, investasi dan industri. Namun, sebagai ajang ekonomi, G20 kemungkinan besar tidak akan membahas persoalan itu. Keputusan untuk tidak membahas dampak perang itu setidaknya menjadi ketetapan dalam 1st Trade, Investment and Industry Working Group Meeting G20. Pertemuan kelompok kerja sektor perdagangan, investasi dan industri ini akan digelar di Solo, Jawa Tengah, 29-31 Maret 2022. Penegasan itu, disampaikan Riyatno, Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal BKPM, dalam keterangan kepada media, Jumat (25/3). “Kami di working group ini akan fokus pada isu-isu yang telah disepakati bersama, yaitu ada enam isu prioritas di perdagangan, investasi, dan industri. Jadi kita fokus sesuai dengan yang telah disepakati, karena isu ini telah disirkulasikan kepada anggota G20,” papar Riyanto. Keenam isu tersebut, pertama reformasi badan perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Kedua, peran sistem perdagangan multilateral untuk akselerasi pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Ketiga, respons perdagangan, investasi dan industri terhadap pandemi, dan arsitektur kesehatan global. Keempat, perdagangan digital dan rantai nilai global berkelanjutan. Kelima, mendorong investasi berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi global. Serta keenam, industrialisasi inklusif yang berkelanjutan melalui Industri 4.0. Pernyataan Riyanto, dibenarkan oleh Djatmiko Bris Witjaksono, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. “Secara khusus tidak ada agenda tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan negara-negara anggota ataupun organisasi-organisasi internasional yang juga hadir sebagai peserta, akan meng-highlight mungkin dampak situasi konflik antara Ukraina dan Rusia,” ujar Djatmiko. Perhatian yang diberikan itu, meski bulan dalam agenda pembicaraan resmi, didorong oleh fakta bahwa Ukraina dan Rusia sama-sama memiliki peran dalam ekonomi dunia. Dalam sejumlah aspek, kegiatan perdagangan dan investasi kedua negara, punya pengaruh sangat signifikan. “Kita tahu, Ukraina sebagai salah satu negara sumber produksi beberapa produk pangan, kemudian juga sektor industri baja mereka juga cukup aktif. Rusia juga sama,” tambah Djatmiko. Bahkan, lanjut Djatmiko, tanpa adanya perang di kawasan itu, situasi ekonomi dunia sebenarnya sudah menerima cukup tekanan. Apalagi pada 2021 hingga 2022 ini diprediksi akan terjadi inflasi, khususnya di Amerika dan Eropa. Keterbatasan pasokan, pemulihan ekonomi, naiknya permintaan, kemudian ditambah supercycle komoditi, kata Djatmikio, akan menciptakan kenaikan harga. Kondisi ini akan terjadi, baik di komoditi pangan maupun energi. Penyataan sama disampaikan Eko S.A. Cahyanto, Dirjen KPAII, Kementerian Perindustrian. “G20 ini forum yang menitikberatkan lebih kepada aspek ekonomi, dan bukan forum politik. Namun memang pasti akan ada ekses dari apa yang terjadi di Eropa Timur di dalam G20 ini, karena salah satu anggotanya adalah juga Rusia,” tandasnya. Di sektor industri, tantangan semakin kompleks karena perbedaan kekuatan antara negara-negara di belahan utara dan selatan. “Kita tahu, negara-negara besar di belahan bumi utara itu selalu mendorong, selalu membuat dan memimpin, beberapa aspek, tidak hanya investasi dan perdagangan tetapi dari sisi industri. Standar-standar baru yang mereka perkenalkan yang membuat kita semakin sulit, yang terus membuat kita semakin tertinggal,” ujar Eko. Karena itulah, agar Indonesia berada dalam posisi lebih mudah, lebih cepat menyesuaikan standar itu, berada di tengah-tengah negara G20 akan lebih bermanfaat. “Industri, yang saat ini dimasukkan ke dalam working group ini, tentunya juga bisa membawa kepentingan kita. Kepentingan nasional kita, dan bisa membuat dunia industri ini bisa lebih fair diperlakukan,” tegasnya. Dunia menghadapi banyak persoalan, tambah Eko, khususnya selama pandemi COVID-19 dalam dua tahun terakhir ini. Di sektor industri kesehatan misalnya, terdapat kekuarangan pasokan yang luar biasa di periode awal pandemi. Saat ini, beban yang sama juga terjadi pada penyediaan vaksin. “Kita menghadapi disrupsi yang terjadi, bahkan sebelum konflik Ukraina kemarin. Berkaitan dengan rantai suplai global yang terganggu, sehingga membuat perdagangan menjadi lebih sulit dan menjadi lebih mahal karena permasalahan tersebut,” tandasnya. Karena itulah, Indonesia memiliki peran besar dalam Presidensi G20 kali ini, untuk mengajak seluruh negara anggota pulih bersama dan menjadi lebih kuat. Keadilan akses dalam perdagangan dunia menjadi isu penting. “Tidak ada yang aman, tanpa semuanya aman,” tegas Eko. Satu hal yang harus disadari, adalah bahwa meski Indonesia harus bekerja sama dengan seluruh negara anggota G20, tetapi pada prinsipnya semua negara tersebut juga pesaing. [ns/ah]