Dalam sejarahnya, Indonesia pernah ada di simpang jalan antara menjadi republik atau kerajaan. Setelah lebih 75 tahun merdeka, menurut sejumlah pengamat, bayangan tentang sistem kerajaan itu ternyata masih hidup, khususnya di alam bawah sadar. Sejarah mencatat, pada 1 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) melakukan pemungutan suara terkait bentuk negara. Hasilnya, 55 orang memilih Indonesia berbentuk republik, enam orang memilih kerajaan, dua orang lain lain, dan satu orang abstain. Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Ash-Shiddiqie mengutip sejarah itu, untuk mengupas budaya politik di Indonesia. Dia menyebut, jika sewaktu itu dilakukan referendum, bukan tidak mungkin mayoritas rakyat Indonesia akan memilih kerajaan sebagai bentuk negara. “Alam bawah sadar rakyat Indoneisa, budaya politik itu kerajaan. Jadi walaupun cuma enam orang, tapi gara-gara ngotot terpaksa di-voting. Republik yang menang, tetapi itu menggambarkan budaya politik kita itu kerajaan. Sekarang, sesudah 76 tahun merdeka, apa ini sudah selesai? Belum,” tandas Jimly, dalam seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah ke-48, Rabu (16/3). Jimly memberi contoh bagaimana partai-partai di Indonesia berkiprah dalam budaya kerajaan. Pengurus partai didominasi tokoh-tokoh tertentu dan diturunkan ke anak atau anggota keluarga. Dalam sejarahnya, Indonesia juga pernah menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup pada 1963. Namun dia memberi catatan, itu adalah fenomena global belakangan ini. Di Asia Tenggara, Kamboja bisa menjadi contoh. Sementara Rusia dan China mengalami gejala serupa. Masalah serius lain yang dihadapi demokrasi Indonesia, adalah percampuran bisnis dan politik. Jimly menyebut sekurangnya 50 persen pejabat politik di Indonesia saat ini adalah pengusaha. Tantangan ketiga adalah tidak jelasnya urusan privat dan publik di kalangan pejabat, yang tidak bisa membedakan urusan kantor atau dinas dan urusan pribadinya. Jimly menyebut ada empat unsur yang harus ditata kembali di Indonesia, yaitu negara, masyarakat sipil, bisnis dan media. Keempatnya tidak boleh terjadi konflik kepentingan. “Pada suatu hari akan muncul, the new form of absolute totalitarianism. Seorang pengusaha besar, bikin industri media besar. Lalu bikin partai besar. Maksudnya apa dia bikin partai itu? Kalau dia tidak jadi presiden, paling tidak jadi king maker presiden,” papar Jimly. Untuk menjinakkan masyarakat sipil, pengusaha tersebut juga menyumbang kanan-kiri. “Maka bisa saja terjadi suatu hari nanti, seorang presiden menguasai politik kenegaraan, menguasai dunia korporasi, menguasai media, dan civil society sekaligus. In the one hand. Inilah bentuk totalitarianisme baru yang sangat berbahaya untuk demokrasi di masa depan,” tandas Jimly yang juga anggota DPD RI. Untuk mencegahnya, Jimly sejak lama mengusulkan adanya UU Larangan Konflik Kepentingan, mereformasi UU Perusahaan Terbuka, UU Penyiaran, UU Pemilu, dan UU Partai. Misalnya, perlu diatur mengenai dinasti politik, terkait apakah anak seorang ketua partai bisa menjadi ketua partai selanjutnya. Hubungan korporasi dengan partai politik juga harus diatur. Sementara media, tidak boleh menjadi media satu partai. “Karena jam tayang itu milik publik, bukan milik privat. Maka harus diatur jam tayang. Tidak boleh, misalnya Metro TV hanya dengan Nasdem, Golkar hanya dengan TV One, misalnya. Perindo hanya dengan RCTI. Itu harus dilarang,” tegas Jiimly. Regresi Demokrasi Indonesia Dr. Ma'mun Murod, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta mengupas fenomena regresi atau kemunduran demokrasi di Indonesia. Pada awal reformasi, kata Ma’mun, isu HAM, demokrasi dan tata pemerintahan dominan dalam perbincangan di Indonesia. Sekarang, isu-isu itu seolah hilang. “Isu-isu yang terkait dengan persoalan ini, sekarang melemah. Orang sudah tidak lagi membincang soal bagaimana tata kelola pemerintahan yang bagus,” kata Ma’mun. Tanda kemunduran demokrasi juga bisa dilihat dari gejala budaya politik feodal dan komunalistik. Kedua budaya itu menguat, ditandai dengan adanya fragmentasi dan polarisasi politik di masyarakat. “Terutama dalam tujuh tahun terakhir ini, kadrun dan kampret itu contoh dari polarisasi masyarakat yang luar biasa,” ungkapnya. Intoleransi juga menguat di masyarakat. Klaim tentang siapa yang paling Pancasialis kadang menjadi perdebatan di masyarakat. Dasar negara ini juga dibawa dalam perdebatan seputar isu-isu murahan. Semua ini relatif menurun, tetapi ditakutkan akan menguat lagi jika pada Pilpres 2024 hanya ada dua calon yang maju. Oligarki pun dinilai Ma’mun bermain pada wilayah ini. Masyarakat diadu domba dengan isu-isu yang tidak bermutu, dan pada sisi yang lain kelompok oligarki itu semakin menguat. Ada tiga tipe kepemimpinan yang menyebabkan oligarki menguat menurun Ma’mun, yaitu pemimpin kuat ditopang kelompok massa kuat, pemimpin kuat ditopang militer, dan pemimpin lemah didukung oligarki politik dan ekonomi. “Saya kira, Presiden Jokowi merepresentasikan kepemimpinan yang lemah ini,” ucapnya. Regresi demokrasi juga ditandai dengan hilangnya ideologi dari partai, dan digantikan kepentingan pragmatis. “Dulu ada Masyumi, PNI, NU, ada PKI, ada SI, ada PERTI, kita masih bisa membedakan tipe ideologinya. Sekarang sudah tidak bisa. Semua sama. Terjebak pada pragmatisme politik,” tambah Ma’mun. Regresi juga ditandai dengan lemahnya poisisi tawar masyarakat sipil, dan ketimpangan terhadap akses, baik politik, ekonomi, kekuasaan serta hukum. Penguatan Sistem Titi Anggraini dari Perludem dalam diskusi ini juga menilai Indonesia makin mengarah pada tendensi mayoritas pemusatan kekuasaan dan melemahnya kekuatan penyeimbang. Fungsi legislatif tidak berjalan dan terlalu mengandalkan kekuatan yudisial. Sebagai contoh, banyak UU sudah masuk ke Mahkamah Konstitusi hanya beberapa saat setelah disahkan DPR dan pemerintah. Di sisi lain, ada kekuatan berlebih di tangan presiden. Kepala negara, kata Titi, memang harus didukung oleh kekuatan yang memadai di parlemen. Fragmentasi yang terlalu berlebihan, menyulitkan penyusunan legislasi penganggaran dan program lain. “Tetapi bukan berarti kooptasi semua kekuatan di dalam parlemen menjadi kekuatan pendukung presiden. Yang kita harus kuatkan adalah sistemnya, bukan presidennya. Karena presidennya sendiri sudah kuat,” lanjut Titi. Kekuasaan presiden harus tetap diimbangi oleh fungsi kontrol untuk menghindari tendensi pemusatan kekuasaan yang semakin menguat. Titi mengusulkan adanya penghapusan ambang batas pencalonan presiden. Dia beralasan, awal pemusatan kekuasaan dimulai ketika partai dipaksakan berkoalisi dalam pencalonan. Koalisi ini dilakukan secara tidak alamiah. “Pendekatan yang digunakan oleh pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilu, yang sesungguhnya bertentangan dengan pasal 6A ayat 3, yang memberikan hak kepada partai politik peserta pemilu untuk mengusung sendiri pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tambah Titi. Perludem juga mengusulkan penjadwalan pemilu yang terpisah, antara pemilu serentak memilih Presiden, DPR dan DPD, dengan pemilu daerah untuk memilih kepala daerah dan DPRD. Dengan sistem pemilu yang rumit, jumlah suara rakyat yang sudah memilih tetapi tidak dihitung karena kesalahan cara pemilihan, akan tinggi. Pemisahan pemilu nasional dengan pemilu lokal, juga merupakan mekanisme kontrol terhadap kinerja partai dan eksekutif. “Supaya partai politik tidak bekerja lima tahun sekali. Dia dipaksa untuk terus bekerja karena ada mekanisme koreksi dalam lima tahun, ada dua agenda elektoral,” tambah Titi. Dalam hal rekonstruksi sistem ketatanegaraan, Titi juga mengusulkan adanya ambang batas fraksi di DPR, dan bukannya ambang batas parlemen. DPD juga harus didorong untuk berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Selain itu, penguatan kultur kewargaan sebagai kontrol publik terhadap kekuasan juga penting dilakukan. [ns/ab]