Sejak Sekolah Dasar, anak-anak Indonesia diajarkan tentang politik luar negeri bebas aktif. Dalam praktiknya, prinsip itu tidak mudah diterapkan, karena kondisi politik itu sendiri. Ujian praktik politik luar negeri bebas aktif itu antara lain datang ketika PBB mengesahkan resolusi yang meminta Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Indonesia termasuk satu dari 141 negara yang setuju dengan resolusi itu. Pengamat hubungan internasional dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Patrice Lumumba, adalah salah satu pakar yang turut mempertanyakan pilihan sikap itu. “Kenapa kok ikut-ikutan memprakarsai resolusi ke Majelis Umum PBB? Bukannya cukup abstain saja. Supaya Indonesia menampakkan masih nonblok. Masih bebas aktif,” ujar Patrice kepada VOA. Pilihan sikap untuk setuju, menolak atau abstain memang tidak mudah, kata Patrice. Namun, dia membandingkan dengan negara seperti China saja, yang justru memilih abstain, meskipun mereka dekat dengan Rusia. Patrice memahami Indonesia berada dalam posisi sulit. Dia mengambil contoh, untuk urusan pesawat tempur, Indonesia memiliki ketergantungan baik kepada Amerika Serikat maupun Rusia. Selain pesawat Amerika seperti F15, Indonesia juga mengoperasikan Sukhoi buatan di Skuadron Udara 11, di Makassar. Karena itu, sikap abstain adalah yang terbaik. Dengan begitu, Indonesia tidak ikut memposisikan Rusia sebagai pihak bersalah dalam konflik ini. “Apa yang dilakukan Rusia itu sudah sering dilakukan Amerika. Sudah sering dilakukan oleh China. Kalau ada gejala yang mengancam dia, langsung first strike atau preventive strike. Dia bertindak duluan,” ujarnya. Seharusnya, lanjut Patrice, Indonesia menerapkan strategi menunggu dan mengamati perkembangan yang terjadi. Sikap ini akan lebih konsisten dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Amerika, lanjut Patrice, memang bisa menandai negara-negara yang tidak mendukungnya dalam konflik internasional. Namun dengan setuju resolusi, ada risiko Rusia akan membaca sikap Indonesia ini. Sikap hati-hati memang harus diterapkan, ketika Indonesia menghadapi konflik dari negara-negara besar, karena sikap politik akan mempengaruhi kebijakan mereka di sektor lain. Berbeda jika yang berkonflik adalah negara yang sama kuat dengan Indonesia, atau bahkan lebih kecil, sikap politik Indonesia akan lebih leluasa diambil. Memanfaatkan ASEAN Politik bebas aktif juga bisa diterapkan dengan strategi lain, kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Dr Agus Haryanto. Misalnya menggunakan instrumen organisasi regional, dalam hal ini ASEAN. Karena Kamboja yang saat ini memperoleh giliran memimpin ASEAN tidak mengambil langkah, Indonesia selayaknya mengambil inisiatif. “Walaupun mungkin tidak akan direspons, tetapi minimal disampaikan bahwa ASEAN siap menjadi tempat untuk memediasi konflik ini. Saya kira itu sudah cukup, dan saya kira itu bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Tetapi, masalahnya mau atau tidak pemerintah kita melakukan itu? Saya lihat pemerintah kita kurang punya keinginan ke arah itu,” papar Agus. Agus menilai di bawah keketuaan Kamboja, soliditas ASEAN seolah tidak sama seperti sebelumnya. Belakangan ini, ASEAN jarang membahas isu-isu krusial, bahkan yang berada di halaman negara anggotanya sendiri, seperti konflik Laut China Selatan. “ASEAN ini seolah ada di posisi status quo saja. ASEAN itu yang penting damai, guyup, tetapi tidak membahas isu-isu yang strategik, yang seharusnya dipecahkan oleh komunitas ASEAN itu,” lanjutnya. Menghadapi masalah keketuaan ASEAN di tangan Kamboja, tantangan mengarah ke Indonesia. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia seharusnya mengambil peran turut mengurai persoalan Rusia-Ukraina. Agus mengingatkan, di masa lalu, ASEAN memiliki peran yang lebih terlihat. “Indonesia bisa mendorong ASEAN untuk memainkan peran lebih besar. Dulu saya melihat, pemerintahan SBY ataupun Soeharto, mencoba untuk mau bermain. Karena kita ini, kan tidak bisa sendiri,” tambah Agus. Seperti juga Patrice di atas, Agus mengakui ada risiko ketika Indonesia tampil terlalu agresif di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Ketergantungan ekonomi adalah salah satunya. Karena itu, meminjam tangan ASEAN akan menjadi lebih strategis. Indonesia tidak bisa bersikap tegas seperti Singapura, misalnya, karena berbagai alasan. Singapura bertaruh, jika lansekap politik atau ekonomi setelah perang ini berubah, mereka akan mendapat manfaat terutama dari sisi Eropa atau Amerika. Indonesia, terlalu beresiko untuk berjalan sendirian. “Kalau kita bersikap keras seperti Singapura, lalu oleh Rusia kita dimasukkan dalam daftar negara yang tidak ramah kepada Rusia, kita belum tahu dampaknya. Terhadap perawatan Shukoi, misalnya. Kita juga belum tahu bagaimana kemudian kebijakan ekonomi China ke kita, karena mereka dekat dengan Rusia,” papar Agus lagi. Pemerintah Bebas Aktif Pemerintah sendiri menilai sikap yang diambil telah tepat, baik terkait respons Presiden Joko Widodo maupun keputusan terkait resolusi PBB. Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani menyebut sikap Indonesia konsisten. “Sikap Indonesia dalam krisis Ukraina, konsisten dengan prinsip bebas aktif. Dan bebas aktif tidak identik dengan sikap netral, melainkan bebas bersikap sesuai kepentingan nasional,” ujar Abdul Kadir dalam diskusi Asosiasi Dosen Hukum Internasional, Kamis (10/3). Abdul Kadir juga menegaskan, sikap Indonesia tersebut bukan sekedar mengikuti negara lain. Indonesia berkepentingan menyuarakan pentingnya penghormatan norma hukum internasional. “Kita mengetahui bahwa dalam kenyataan politik hukum internasional sering kali tampil berbeda. Tetapi itu tidak menghentikan kita untuk mengatakan sesuatu, untuk menegakkan norma internasional,” tambah Abdul Kadir. Sejalan dengan sikap presiden, katanya, Indonesia akan terus mendorong agar penggunaan kekuatan militer dapat dihentikan. Semua pihak diimbau dapat menyelesaikan sengketan. “Presiden mengatakan, hentikan perang. Hentikan perang itu esensinya adalah hentikan kekerasan, hentikan penggunaan kekuatan,” tambahnya. Langkah ke depan yang terpenting, yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia, lanjut Abdul Kadir, adalah menurunkan eskalasi konflik. Proses perundingan diharapkan juga berjalan lebih efektif dan koridor kemanusiaan di Ukraina, dapat segera terwujud. Memanfaatkan Presidensi G20 Guru Besar Hukum Internasional, Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana menyebut Kementerian Luar Negeri harus membantu Presiden Joko Widodo menciptakan perdamaian. Dia membuka kemungkinan, pemanfaatan posisi Indonesia dalam presidensi G20 tahun ini. “Bantu Bapak Presiden, tidak hanya sebagai Presiden RI, tetapi sebagai Presiden G20. Karena kalau ini bisa terjadi, Indonesia bisa meninggalkan legacy, ketika menjadi Presiden G20, Indonesia, dalam situasi dunia yang sangat sulit, ternyata bisa berperan aktif,” kata Hikmahanto dalam diskusi yang sama. Caranya, lanjut dia, yang pertama adalah mendorong agar Rusia dan Ukraina menyepakati gencatan senjata. “Jangan sampai nanti teman-teman di Kemlu bilang ini susah. Kita tetap harus mencoba. Karena kalau enggak dicoba, kita tidak tahu gagal atau tidak,” ujarnya. Langkah kedua, menurut Hikmahanto, adalah mendorong Amerika Serikat dan NATO membuat pernyataan tertulis. Selama ini, Rusia hanya berpegang pada komitmen lisan NATO terkait ketidakterlibatan mereka di Ukraina. Namun, belakangan Rusia menilai NATO ikut berpihak. “Jadi harus ada pernyataan tertulis. Itu yang akan membuat Rusia tidak akan lagi melakukan serangan,” ujarnya. Langkah selanjutnya adalah mendorong Ukraina dan Rusia membuat kesepakatan terkait netralitas Ukraina, yang tidak akan menjadi anggota Uni Eropa dan NATO. Menurut Hikmahanto, dalam forum ini persoalan Krimea, Donbass dan Luhansk, juga harus ikut diselesaikan. [ns/ah]