Ketertarikan untuk mempelajari bahasa Indonesia di kalangan penutur asing bukan hal baru. Di Amerika Serikat, contohnya, minat mempelajari bahasa Indonesia terlihat bahkan sebelum Indonesia merdeka. Tetapi mengapa bahasa Indonesia belum juga menjadi bahasa yang populer untuk dipelajari di Amerika. Apa yang menjadi tantangan pengajar bahasa Indonesia di sini dan apa yang mereka pikir dapat membantu memopulerkannya? Modern Language Association (MLA), lembaga yang antara lain mendorong studi dan pengajaran bahasa di Amerika, secara rutin melakukan sensus untuk melacak pendaftaran kelas bahasa di tingkat perguruan tinggi. Laporan final dari sensus terakhir MLA, yang diterbitkan pada tahun 2019, menyoroti sensusnya pada tahun 2016(*). Menurut laporan tersebut, bahasa Spanyol dan Prancis masih menjadi dua bahasa asing yang paling populer untuk dipelajari di Amerika. Sementara itu, di antara 15 bahasa asing yang paling banyak dipelajari pada musim gugur 2016, hanya dua yang mengalami peningkatan pendaftaran, masing-masing bahasa Jepang, 3,1 persen dan bahasa Korea 13,7 persen. Bagaimana dengan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing, terutama di Amerika Serikat? MLA tidak mencatat bahasa Indonesia bahkan dalam 15 besar bahasa yang paling banyak dipelajari. Indriyo Sukmono telah menjadi dosen bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) di Universitas Yale, New Haven, Connecticut, sejak 2001. Indriyo mengemukakan, program pengajaran bahasa asing biasanya tidak terlepas dari kajian wilayah. Pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Yale, misalnya, telah ada di dalam kajian wilayah Asia Tenggara yang berdiri sekitar tahun 1940-an. Ketika pertama kali mengajar, ia memiliki dua mahasiswa di tingkat sarjana dan dua mahasiswa lainnya di tingkat pascasarjana. Sekarang ini, ada sekitar 100 mahasiswa di kelas pemula, menengah dan atas. Melihat jumlah mahasiswa yang meminatinya sekarang ini, jelas Indriyo, “Alhamdulilah Bahasa Indonesia masih laku.” Seberapa besar minat belajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi Amerika? Indriyo menjelaskan, di AS terdapat COTI, Consortium for the Teaching of Indonesian, satu-satunya organisasi pengajaran bahasa Indonesia di kawasan Amerika Utara yang dibentuk pada tahun 1975. Organisasi ini mencakup 12 universitas di berbagai penjuru Amerika yang memiliki pengajar tetap bahasa Indonesia. Secara umum, perguruan tinggi di AS mensyaratkan mahasiswa tingkat sarjananya untuk mengambil kelas bahasa asing selama satu hingga tiga semester. Di tingkat ini, bahasa Indonesia harus bersaing dengan bahasa-bahasa asing lainnya yang lebih mapan seperti bahasa Spanyol, Prancis, Jerman. Kalau ingin mudahnya, mahasiswa biasanya akan mengambil program bahasa asing tersebut yang telah dipelajarinya ketika SMA. Tetapi Indriyo mengungkapkan, tidak sedikit di antara mahasiswanya yang ingin berpetualang mempelajari bahasa dan budaya baru atau karena tergerak oleh referensi atau promosi antarteman. Bahasa Indonesia sendiri sebenarnya terbilang mudah bagi penutur asing, demikian pengamatan Vania Maherani, seorang pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur. “Dari konsepnya, mungkin karena bahasa Indonesia menggunakan alfabet, tidak menggunakan aksara seperti di Korea, Thailand, atau China, untuk tulisannya, itu sudah lebih mudah. Dari segi pelafalan, ada beberapa kata yang mirip bahkan sama dengan bahasa Inggris,” jelasnya. Sedemikian mudahnya, menurut pengamatan Indriyo, sehingga ia mengibaratkan bahasa Indonesia seperti bahan bakar bensin, yang membuat kendaraan dapat langsung dijalankan begitu mesin dinyalakan. Namun ia juga mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi pembelajar adalah tata bahasa Indonesia yang terus berkembang. Terkadang, bahasa Indonesia yang tampaknya baik belum tentu benar, atau sebaliknya, jelas Indriyo yang juga mengatakan bahwa tidak ada jalan lain bagi pembelajar selain menghapalkan berbagai kekecualian dalam tata bahasa yang berlaku. Kembali pada hasil akhir sensus MLA, tidak sedikit pakar yang mengaitkan fenomena peningkatan minat terutama pada bahasa Korea adalah karena berkembangnya popularitas budaya popnya yang disebut Korean Wave. Dari ketertarikan terhadap budaya Korea, minat untuk mempelajari bahasanya pun semakin besar. Mengapa bahasa Indonesia tidak bisa diikutkan dalam budaya yang mampu dibawa ke ranah internasional, sementara banyak budaya Indonesia yang dapat diperkenalkan? Vania menjelaskan, “Kalau di Korea, budayanya saya pikir homogen, hanya satu jenis saja, sementara yang di Indonesia ada sekian juta kebudayaan yang sebenarnya bisa diperkenalkan kepada dunia.” Masalahnya, mungkin belum ada agen belum berani atau masih malu-malu untuk memperkenalkannya. Kemungkinan lainnya, kata Vania, Indonesia belum fokus melakukan hal ini karena masih berjibaku dengan banyak hal lain, seperti misalnya masalah kesehatan atau kebutuhan pokok. Tetapi Indriyo menyatakan sebetulnya Indonesia juga bisa mengikuti pendekatan budaya yang dilakukan Korea dalam memperkenalkan bahasanya. Misalnya dengan menumpang popularitas warisan budaya Indonesia yang diakui UNESCO, seperti angklung, atau tempe yang sedang diupayakan pengakuannya. Selain itu, “Saya ingin anak-anak muda Indonesia yang punya kemampuan musik maupun desain grafis (terlibat). Jadi sesederhana (mendesain) tulisan ‘terima kasih’ atau ‘apa kabar’ dalam berbagai bahasa. Saya ingin ada bahasa Indonesia di sana.” Yang jelas, melibatkan anak-anak muda Indonesia untuk menggagas hal-hal yang menurut mereka dapat ditularkan ke generasi muda di Amerika seperti itulah yang merupakan cara paling manjur untuk memopulerkan bahasa Indonesia, tegas Indriyo. Namun tidak kalah pentingnya adalah peran dan kreativitas para pengajar untuk membuat mahasiswa mereka tetap bertahan mengikuti kelas maupun terus meminati bahasa Indonesia. Indriyo mencontohkan salah satu program yang ia selenggarakan setiap akhir semester selalu disukai mahasiswanya. Dalam program showcase itu, mahasiswa memamerkan pencapaian hasil belajar melalui pertunjukan khusus, baik dengan bercerita, unjuk bakat melalui musik dan puisi dan sebagainya. Vania menganggap pentingnya seorang pengajar memiliki pemikiran yang terbuka dan kemauan untuk belajar hal-hal baru, mengingat banyak nilai-nilai berbeda yang berlaku di Indonesia dan di Amerika. Lebih dari itu, Indriyo juga menegaskan, “Profesi guru harus disadari sebagai suatu kebanggaan. Kalau itu profesi yang membanggakan, otomatis kita mencoba membekali diri kita sebagai seorang profesional.” [uh/ab] (*) Sensus berikutnya dimulai pada tahun 2021 dan akan diterbitkan pada tahun 2023.