Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI mengapresiasi keputusan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat yang mewajibkan Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Bandung, untuk membayar uang ganti rugi atau restitusi kepada para korban. Komisioner KPAI Retno Listyarti kepada VOA Senin malam (4/4) mengatakan “keputusan ini sekaligus memperbaiki keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung sebelumnya yang membebankan restitusi kepada negara lewat Kementerian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak.” Dalam putusannya hari Senin, Pengadilan Tinggi Jawa Barat mengatakan membebankan restitusi kepada negara justru bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Retno mengatakan, “Sangat mendukung keputusan yang menyatakan pembayaran restitusi oleh negara akan menjadi preseden buruk dalam penanggulangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak... karena pelaku kejahatan akan merasa nyaman, tidak dibebani ganti kerugian berupa restitusi kepada korban, dan berpotensi menghilangkan efek jera yang sangat berbahaya bagi perlindungan anak dan kejahatan seksual.” Selain putusan soal restitusi, Pengadilan Tinggi Jawa Barat juga mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta vonis mati terhadap Herry Wirawan. Majelis hakim mengabulkan dengan pertimbangan sebagai pengasuh dan pendidik di pondok pesantren di mana para korban belajar, ia sedianya melindungi dan mendidik siswa yang mondok di sana. Sebaliknya Herry Wirawan sejak tahun 2016-2021 diketahui memperkosa 13 santriwati di beberapa tempat, seperti yayasan pesantren, hotel dan apartemen. Sebagian korban telah melahirkan anak, dan lainnya mengandung. LPSK: Sebagian Korban Dieksploitasi Secara Ekonomi Dalam wawancara VOA sebelumnya dengan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban LPSK, Livia Iskandar, diketahui para santriwati ini bahkan dipekerjakan Herry Wirawan sebagai kuli bangunan untuk membangun pondok pesantren lain. Sebagian anak korban perkosaannya juga dieksploitasi untuk meminta bantuan pada sejumlah pihak. Dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk korban juga diambil pelaku, termasuk dana BOS yang penggunaannya tidak jelas. LPSK sejauh ini telah memberi perlindungan pada 29 orang, 12 di antaranya anak di bawah umur. KPAI Tak Tanggapi Hukuman Mati Namun Retno Listyarti tidak menanggapi hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan tinggi. “Saya lebih fokus pada korban. Kalau pelaku dihukum mati, lalu korban dapat apa? Adilkah untuk korban?,” tanya Retno. Ia menggarisbawahi urgensi restitusi karena “korban masih harus melanjutkan hidupnya, masa depan mereka masih panjang.” Retno menilai restitusi yang diputuskan pengadilan masih terlalu kecil, yaitu sekitar 300 juta rupiah, yang harus dibagi pada 13 korban, termasuk anak-anak hasil perkosaan itu. “Restitusi 330 juta rupiah itu terlalu kecil. Seharusnya bayi-bayi yang merupakan korban itu juga dihitung restitusinya,” tambah Retno. Hukuman mati dalam kasus kekerasan seksual diatur dalam UU No.17/Tahun 2016 (yang merupakan perubahan kedua atas UU No.23/Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), khususnya Pasal 81 ayat 5 yang menegaskan hukuman ini jika anak korban kejahatan seksual lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Pelaku dapat dipidana mati, dijatuhi hukuman seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. [em/pp]