Acara terbesar di kawasan Amerika Utara yang mempertemukan para profesional di bidang kopi spesialti (specialty coffee), Specialty Coffee Expo 2022, baru beberapa waktu yang lalu diselenggarakan di Boston, Massachusetts. Dalam ajang itu, disebutkan bahwa kopi Indonesia berhasil menarik perhatian dan meraup potensi transaksi 19,5 juta dolar. Apa saja yang menjadi kelebihan kopi Indonesia dan apa kendala yang dihadapi produsennya untuk masuk pasar Amerika atau luar negeri pada umumnya? Specialty Coffee Expo 2022 berlangsung pada 8-10 April lalu. Lebih dari 40 negara dan lebih dari 420 peserta yang menampilkan produk mereka dalam acara untuk melihat semua hal mutakhir dalam bidang kopi spesialti. Kopi spesialti secara umum mengacu pada kopi berkualitas terbaik berdasarkan sejumlah indikator, dengan grade atau cupping score di atas 80. Kopi ini biasanya dijual dengan harga mahal dan diproduksi melalui proses tertentu. SCE 2022 dihadiri oleh lebih dari 10 ribu pengunjung, menjadi pameran dagang terbesar dalam kurun lebih dari dua tahun ini. Dalam keterangan resmi Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM Henra Saragih pekan lalu, juga disebutkan bahwa kopi Indonesia meraup potensi transaksi sebesar 19,5 juta dolar atau sekitar Rp283 miliar. Teuku Dharul Bawadi mengikuti pameran tersebut dengan membawa produk kopi arabika spesialti Gayo, salah satu jenis yang terbaik di dunia. Meski baru pertama kali mengikuti pameran ini, produknya Bawadi Coffee, yang berasal dari lahan organik di Gayo, Aceh, sudah diekspor ke beberapa negara dan digunakan oleh beberapa produsen kopi dunia seperti Starbuck. Bawadi punya misi khusus dalam mengikuti SCE 2022. Selain untuk mempromosikan dan menjual langsung produk kopi spesialtinya kepada para importir di AS, ia ingin memperkenalkan bahwa, “Kopi Gayo yang single origin (berasal dari satu daerah perkebunan, red.) lebih enak dan nikmat. Selama ini yang diatasnamakan sebagai kopi Gayo banyak yang di-blend sehingga aroma dan citarasanya kurang.” Tanpa menyebutkan potensi nilai transaksinya, Bawadi menyatakan mendapat sejumlah pembeli dari AS, Brasil, Italia, Dubai dan Turki selama ajang di Boston itu. Sementara itu Meilaine Osok mewakili organisasi Papua Muda Inspiratif. Salah satu bidang yang digarap anak-anak muda di organisasi ini adalah mengembangkan produk-produk lokal hasil perkebunan di Papua sendiri. Ia membawakan empat brand kopi spesialti Papua yang berasal dari berbagai daerah di sana, termasuk kopi baru yang berasal dari Pegunungan Arfak di Papua Barat. “Tidak banyak orang tahu kalau ternyata di Papua Barat ada produsen kopi yang rasanya beda, wanginya beda, sensasi rasanya sendiri ada kandungan spices, rempah-rempah, karena tumbuhnya di antara rempah-rempah yang lain,” kata Meilaine. Meilaine menyatakan ada pembeli dari Kolombia, Dubai, Australia dan Amerika Serikat yang tertarik pada kopi Papua. Pendekatan ini masih perlu ditindaklanjuti antara lain dengan mengirimkan sampel, papar Meilaine tanpa menyebutkan nilai potensi transaksinya. Yang jelas ia menegaskan bahwa kopi Papua memiliki potensi untuk dipasarkan di luar negeri. Namun di balik potensi itu, ada kendala dan tantangan yang kerap dihadapi kopi Indonesia untuk masuk dan diterima pasar internasional. Ia mengutip pernyataan pengunjung dari Turki yang sebetulnya tidak memedulikan betapapun mahal harga kopi spesialti Papua. Tetapi pertanyaannya, sebagaimana dikutip Meilaine, “Apakah petani siap untuk menyuplai kopi dengan rasa yang konsisten bila saya memesannya berkali-kali dalam satu tahun atau saya memesannya dalam jumlah yang banyak, apakah rasanya akan konsisten dan suplainya juga akan konsisten.” Bukan hanya masalah konsistensi suplai. Bawadi juga menyebutkan kendala dan tantangan lainnya berupa quality control yang kerap belum terjaga, promosi di kancah internasional dengan mengikuti berbagai pameran di luar negeri masih kurang, dan biaya pengiriman yang tinggi. Untuk hal terakhir, ia mencontohkan beberapa calon pembeli produknya terpaksa harus berpikir ulang untuk memesan kopi dari Indonesia karena masalah biaya tersebut. Karena itu, lanjutnya, “Kami mengharapkan dukungan pemerintah, kalau bisa menyubsidi biaya pengiriman atau bekerja sama dengan kargo, sehingga para pelaku UMKM atau pengusaha yang sudah deal dengan buyer di luar negeri, mereka bisa langsung mengirimkan barang-barang permintaan untuk pasar internasional,” jelasnya. Sementara itu untuk meringankan biaya promosi, Bawadi mengusulkan agar pemerintah Indonesia mengundang para produsen kopi dari seluruh dunia dalam acara pameran sekelas Specialty Coffee Expo. Bila diadakan di Jakarta, misalnya, kata Bawadi, para petani dan produsen kopi Aceh akan lebih mudah mempromosikan hasil pertanian mereka. Menurut data tahun 2020, Indonesia tercatat sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Menurut data statistik perkebunan Angka Sementara tahun 2021, luas areal kopi nasional mencapai 1,26 juta hektare. [uh/ab]