Economy >> Voice of America


Invasi Rusia Bisa Jadi Malapetaka Bagi Perekonomian Dunia


Link [2022-03-05 19:37:45]



Agresi militer Moskow terhadap Ukraina dan serangan balik finansial yang masif dari sejumlah negara tidak hanya menimbulkan malapetaka ekonomi di negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin itu. Namun secara luas dampaknya juga dapat mengancam ekonomi global, mengguncang pasar keuangan dan membuat hidup lebih berbahaya bagi semua orang, mulai dari pekerja migran Uzbekistan, konsumen Eropa hingga keluarga di Yaman yang kelaparan. Bahkan sebelum pasukan Putin menginvasi Ukraina, ekonomi global sebenarnya sudah mengalami tekanan di bawah berbagai beban: inflasi yang melonjak, rantai pasokan kusut dan harga saham yang anjlok.  Krisis Ukraina memperbesar setiap ancaman dan memperumit solusi potensial.  “Kami sebenarnya berada di wilayah yang belum dipetakan,” kata Clay Lowery, wakil presiden eksekutif di Institute of International Finance, sebuah kelompok perdagangan bank global. “Kami tahu ada konsekuensi yang tidak dapat kami prediksi.”  Setidaknya hingga saat ini, dampaknya terhadap perekonomian global secara keseluruhan masih relatif kecil mengingat Rusia dan Ukraina bukan negara utama yang menggerakan ekonomi dunia. Namun kedudukan mereka penting karena tercatat sebagai pengekspor energi, logam mulia, gandum dan komoditas lainnya. Keduanya bersama-sama menyumbang kurang dari 2 persen dari produk domestik bruto dunia. Sebagian besar negara perekonomian utama di dunia hanya memiliki eksposur perdagangan terbatas dengan Rusia. AS hanya memiliki sekitar 0,5 persen kerja sama ekonomi dengan Rusia dari total perdagangannya, sementara China memiliki 2,4 persen kerja sama perdagangan dengan Rusia dari total nilai perdagangannya. Namun, Rusia adalah pemasok minyak, gas alam, dan logam yang sangat penting, dan harga yang lebih tinggi untuk komoditas tersebut pasti akan menimbulkan kerusakan ekonomi di seluruh dunia. Eropa bergantung pada Rusia untuk hampir 40 persen gas alamnya dan 25 persen minyaknya. Untuk benua Eropa, perang Rusia telah secara signifikan meningkatkan kemungkinan inflasi yang tidak terkendali, kemunduran ekonomi lainnya atau bahkan keduanya.  Berikut sekilas mengenai potensi dampak yang dapat menghantam perekonomian dunia.  Peta Ekonomi   Murka dengan aksi agresi Putin, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah mengganjar Rusia dengan sanksi yang luas dan keras, yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara-negara penggerak ekonomi utama. Mereka mendepak bank-bank besar Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT, membatasi ekspor teknologi tinggi ke Rusia dan sangat membatasi penggunaan cadangan mata uang asing Moskow.  Pembalasan internasional yang cepat dan terpadu terhadap Rusia tampaknya mengejutkan rezim Putin.  "Dunia, atau sebagian besar dari itu, sedang mengepung ekonomi Rusia," tulis Carl Weinberg, kepala ekonom di High Frequency Economics.  Sanksi dengan cepat menyebabkan kerusakan. Rubel Rusia anjlok ke rekor terendah pada Senin (1/3). Para nasabah bank berbaris di ATM untuk mencoba menarik uang mereka dari sistem perbankan yang diperangi. Terputus dari Google Pay dan Apple Pay, orang Rusia terjebak di loket tiket di jalur kereta Metro.  Institute of International Finance memperkirakan ekonomi Rusia mengalami kontraksi dua digit tahun ini, lebih buruk dari penurunan 7,8 persen pada tahun Resesi Ekstrem 2009.  Oxford Economics mengatakan bukti dari perang mulai dari perang Iran-Irak 1980-1988 hingga kampanye pengeboman NATO 1999 melawan Serbia menunjukkan bahwa keruntuhan ekonomi Rusia yang mengejutkan dari 50 persen hingga 60 persen adalah sangat mungkin terjadi.   Waktu Sulit Bagi Eropa  Ekonomi Eropa sekarang berada dalam posisi yang berbahaya menyusul tingkat ketergantungannya energi yang tinggi pada Rusia. Harga gas alam melonjak 20 persen setelah perang dimulai, di atas kenaikan sebelumnya, dan saat ini meningkat sekitar enam kali lipat dari harga di awal 2021. Guncangan harga gas memicu inflasi yang lebih tinggi dan tagihan utilitas yang membengkak. Hasilnya adalah rumah tangga memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan. Naiknya harga gas telah menyebabkan apa yang oleh para ekonom disebut “penghancuran permintaan” di antara perusahaan industri, seperti pembuat pupuk, yang menggunakan banyak gas dan kini telah memangkas produksi. Ekonomi Jerman, yang merosot 0,7 persen pada kuartal keempat 2021, akan menghadapi resesi teknis jika menyusut lagi dalam tiga bulan pertama 2022.  Penurunan ekonomi dapat diimbangi dengan peningkatan pengeluaran pertahanan Jerman. Menanggapi invasi Rusia, Kanselir Olaf Scholz mengatakan pemerintah akan memberikan 100 miliar euro ($111 miliar) untuk dana khusus bagi angkatan bersenjatanya dan meningkatkan pengeluaran pertahanan di atas 2 persen dari PDB. Tanpa Rantai Pasokan  Pemulihan dunia yang tak terduga setelah resesi pandemi membuat perusahaan berebut menemukan bahan baku dan komponen yang cukup untuk memproduksi barang guna memenuhi permintaan pelanggan yang melonjak. Pabrik-pabrik yang kewalahan. Gangguan pada industri Rusia dan Ukraina dapat menunda pengembalian ke kondisi normal.  Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics, mencatat bahwa Rusia dan Ukraina bersama-sama memproduksi 70 persen neon dunia, komponen penting dalam pembuatan semikonduktor. Itu sangat mengkhawatirkan karena dunia, dan khususnya pembuat mobil, sudah mengalami kekurangan chip komputer.  Ketika Rusia merebut Krimea dari Ukraina delapan tahun lalu, harga neon melonjak 600 persen, meskipun Zandi mencatat bahwa produsen chip sejak itu menimbun neon dan mencari alternatif pasokan selain Rusia.  Rusia dan Ukraina bersama-sama memasok 13 persen titanium dunia, yang digunakan untuk membuat jet penumpang dan 30 persen paladium, yang digunakan untuk mobil, ponsel, dan tambalan gigi, kata Zandi. Rusia juga merupakan produsen utama nikel, yang digunakan untuk memproduksi baterai mobil listrik dan baja.  Dampak ke Negara Tetangga  Konflik dan sanksi juga akan merusak tetangga Rusia di Asia Tengah. Seiring bertambahnya usia tenaga kerja, Rusia beralih ke pekerja migran yang lebih muda dari negara-negara seperti Uzbekistan dan Tajikistan. Keluarga pekerja itu bergantung pada uang yang mereka kirim ke rumah.  “Tekanan pada rubel, pembatasan perbankan pada orang asing dan – dalam jangka panjang – runtuhnya pasar tenaga kerja di Rusia akan memiliki dampak ekonomi langsung dan mendalam di Asia Tengah,” ujat Gavin Helf, pakar Asia Tengah untuk AS Institute of Peace.  Persediaan Makanan  Ukraina dan Rusia menyumbang 30 persen dari ekspor gandum dunia, 19 persen jagung, dan 80 persen minyak bunga matahari, yang digunakan dalam pengolahan makanan. Sebagian besar hasil bumi tersebut diberikan ke negara-negara miskin dan tidak stabil seperti Yaman dan Libya. Ancaman terhadap pertanian di Ukraina timur dan penghentian ekspor melalui pelabuhan Laut Hitam dapat mengurangi pasokan makanan tepat ketika harga berada pada level tertinggi sejak 2011 dan beberapa negara menderita kekurangan pangan.  Dengan pelabuhan, bandara dan jalur kereta api ditutup dan para pemuda Ukraina melawan invasi Rusia, dia bertanya: “Siapa yang akan melakukan panen? Siapa yang akan melakukan transportasi?    Kenaikan Harga  Perang Ukraina bertepatan dengan momen berisiko tinggi bagi Bank Sentral AS dan bank sentral lainnya. Mereka lengah akan lonjakan inflasi selama setahun terakhir karena sebagian besar disebabkan oleh pemulihan ekonomi secara tak terduga menguat.  Pada Januari, harga konsumen AS naik 7,5 persen dari tahun sebelumnya, lompatan terbesar sejak 1982. Di Eropa, angka yang dijadwalkan keluar pada Rabu (2/3) kemungkinan akan menunjukkan bahwa inflasi meningkat menjadi 6 persen bulan lalu dari 5,1 persen pada Januari untuk 19 negara yang menggunakan mata uang Euro.   Untuk memerangi inflasi, The Fed akan mulai menaikkan suku bunga dalam pertemuan dua minggu mendatang, membalikkan kebijakan suku bunga sangat rendah yang diadopsi pada 2020 untuk membantu menyelamatkan ekonomi dari resesi pandemi. Demikian juga, Bank Sentral Eropa secara bertahap menarik upaya stimulus pandemi.  Bagaimana dengan saat ini? Bank sentral harus mempertimbangkan peningkatan tekanan inflasi terhadap risiko bahwa krisis Ukraina akan melemahkan ekonomi. [ah/rs]        



Most Read

2024-09-20 10:40:04