Indonesia akan menggunakan kesempatan dalam mengepalai negara-negara kelompok G20 untuk menguatkan komitmennya dalam memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) demi mencapai target nol emisi (net zero emission) pada pertengahan abad ini. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebutkan bahwa pemerintah memiliki komitmen kuat dalam Presidensi G20 di sektor energi. Didorong oleh kesadaran untuk melestarikan kondisi bumi yang layak huni, pemerintah, menurut Airlangga, akan mendorong transisi energi sekaligus menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan. “Potensi energi terbarukan ada di pengembangan tenaga surya. Dan tenaga surya ini dianggap demokrasi energi, karena tenaga surya tidak tergantung economic of scale, bisa dilakukan di rumah tangga, bisa dilakukan di pabrik, bisa juga di skala besar,” papar Airlangga dalam Seminar G20 dan Agenda Strategis Indonesia, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada Kamis (17/3) sore Meski saat ini masih menjadi salah satu pengekspor terbesar batu bara, Airlangga memastikan Indonesia memiliki sumber energi di luar komoditas tersebut. Mekanisme transisi energi saat ini sedang dibicarakan pemerintah bersama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pemerintah meyakini bahwa demokratisasi energi merupakan hal yang penting untuk membuka peluang penggunaan sumber energi berbasis surya di skala rumah tangga di dalam negeri. “Dan energi surya hari ini sudah sangat kompetitif. Bahkan Indonesia sedang berpikir untuk mengekspor energi surya, salah satunya dari Batam ke Singapura,” tambah Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu. Ekspor listrik surya ke Singapura melalui Batam memiliki potensi besaran daya mencapai 4 gigawatt. Jika rencana tersebut terlaksana, Indonesia tidak hanya mengirim listrik namun juga karbon kredit ke Singapura. Selain melirik sumber energi surya, pemerintah juga serius dalam mengembangkan listrik bertenaga air. Airlangga memberi contoh pemanfaatan Sungai Kayan di Kalimantan Utara yang sedang dikembangkan untuk menghasilkan listrik. Potensi daya yang dapat dihasilkan dari sungai tersebut mencapai 12 gigawatt. “Dan itu bisa menumbuhkan potensi ekonomi baru, yaitu ekonomi berbasis hidrogen. Ekonomi berbasis hidrogen ini sangat berkelanjutan, karena kalau dimasukkan menjadi pengganti bahan bakar minyak, maka buangannya dalam bentuk air,” tandasnya. Selain itu, untuk Jawa, pemerintah mengembangkan panas bumi atau geothermal dengan potensi daya mencapai 29 gigawatt. Program-program ini menjadi bagian dari upaya Indonesia mencapai nol emisi setidaknya pada 2060 atau lebih cepat. Butuh Investasi Besar Upaya peralihan menuju energi terbarukan tak lepas dari konsekuensi. Dalam seminar yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan, bahwa transisi energi membutuhkan investasi yang sangat besar. “Pada periode 2017-2019, total investasi yang dibutuhkan kurang lebih $824 miliar per tahun. Dan akan meningkat sangat signifikan menjadi lebih dari $3,8 triliun per tahun pada periode 2021-2050,” ujar Arifin. Dana yang cukup besar untuk mewujudkan rencana transisi energi ini tentu saja akan menjadi tantangan besar bukan hanya bagi Indonesia namun bagi negara-negara lain di dunia. “Kemampuan pembiayaan transisi energi setiap negara berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pendanaan dari negara maju untuk negara berkembang, sehingga dapat mempercepat transisi energi yang berkeadilan,” tambah Arifin. Arifin juga menegaskan, negara-negara anggota G20 telah berusaha melaksanakan transisi energi untuk mencapai net zero emission. Hingga saat ini, masih ada enam negara yang belum menyampaikan komitmen target net zero emission itu. Negara-negara tersebut adalah Australia, India, Saudi Arabia, Turki, Meksiko, dan Rusia. “Sedangkan sebagian besar negara di Eropa dan Amerika menyatakan akan mencapai net zero emission pada tahun 2050, dan Indonesia pada tahun 2060 atau bisa lebih cepat, dengan dukungan (pihak) internasional,” kata Arifin. Transisi energi ini penting, karena negara-negara G20 merupakan negara dengan kekuatan ekonomi besar. Mereka memiliki 80 persen produk domestik bruto (GDP) dunia, menguasai 75 persen perdagangan dunia, 77 persen permintaan emisi global, dan menghasilkan emisi karbon hingga 81 persen dari sektor energi. Hadapi Sejumlah Tantangan Sementara itu, Dekan Fakultas Geografi UGM, Dr Danang Sri Hadmoko juga mengingatkan, terdapat sejumlah tantangan yang harus diselesaikan dalam transisi energi ini. Di sektor pembangkit listrik tenaga air misalnya, tantangannya adalah menjaga kelestarian lingkungan. Kementerian ESDM, tentu harus bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam menjalankan programnya. Indonesia, kata Danang, memiliki lebih dari seribu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luasan sekitar 106 juta hektar. “Dari sisi lingkungan yang perlu kita lakukan adalah mengendalikan erosi, mengendalikan kerusakan DAS yang ada di Indonesia ini, sehingga nanti kontinuitas dan juga sustainability dari debit air yang dihasilkan untuk mensuplai energi itu bisa terjaga,” kata Danang. Masalahnya, lanjut Danang, Indonesia saat ini mengalami banyak kerusakan DAS. Sementara dari sisi energi surya, tantangannya kata Danang, adalah pemerataan akses. Teknologi ini dalam skala rumah membutuhkan investasi tidak murah. Jadi, meskipun Indonesia memiliki sumber energi surya yang melimpah, tetap diperlukan campur tangan pemerintah dalam pemanfaatannya. “Salah satu tantangan kita adalah aksesibilitas atau pemerataan akses energi yang berkeadilan. Ketika nanti panel surya ini berkembang, bagaimana strategi pemerintah untuk memberikan insentif, subsidi dan seterusnya. Itu penting untuk menumbuhkan dan mempercepat tumbuhnya ekosistem EBT tersebut,” tambah Danang. Dalam jangka panjang, antisipasi juga perlu dilakukan untuk mengelola limbah baterai, yang kemungkinan akan menumpuk dalam beberapa dekade ke depan. Pengembangan teknologi daur ulang baterai diperlukan agar tidak menghadirkan persoalan baru. Di sektor ketenagakerjaan, transisi energi juga akan membawa konsekuensi dibutuhkannya tenaga kerja berkemampuan cukup. Perguruan tinggi harus mengambil tantangan ini, senyampang waktunya masih tersedia. Di sisi lain, transisi energi juga akan memaksa hilangnya sejumlah lapangan kerja, terutama sektor batubara dan Migas. Namun, Danang lebih memilih proses ini sebagai peralihan tenaga kerja, meski tidak memungkiri tetap akan ada lapangan pekerjaan yang hilang. “Terwujud zero emission itu harus dilakukan dengan smooth. Tantangan terbesar adalah bagaimana melakukan pembiayaan hijau untuk insentif dan disinsentif, yang berkaitan dengan EBT,” kata Danang. [ns/rs]