Paket undang-undang yang disahkan pada 2020, yaitu UU Mineral dan Pertambangan serta UU Cipta Kerja, berdampak baik bagi investasi, tetapi sangat merugikan masyarakat. Kondisi itu setidaknya terbukti dari hasil riset yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Riset mengambil kasus antara lain PLTU Cilacap, tambang batuan andesit di Wadas, serta tambang pasir Sungai Progo dan Sungai Boyong. Dalam kasus PLTU Cilacap, peneliti dari LBH Yogyakarta, Lalu Muhammad Salim Iling Jagat, memaparkan ada tiga aspek yang diubah dalam UU Cipta Kerja yang berdampak pada masyarakat. “Pertama, dikeluarkannya limbah FABA dari limbah B3 oleh peraturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu PP 22/2021 tentang Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, adalah soal pereduksian ketetatan pertangungjawaban mutlak. Dan terakhir adalah perubahan RT/RW di Cilacap,” kata Jagat, Jumat (1/4) sore, dalam diskusi paparan hasil riset. Fly Ash Bottom Ash (FABA) adalah limbah batu bara yang sebelumnya digolongkan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). FABA dinilai karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker karena ada unsur kromium, arsenik dan sejumlah zat berbahaya lain di dalamnya. Namun, UU Cipta Kerja mengubah kategori FABA menjadi di luar B3. Padahal, limbah ini telah mencemari lingkungan di sekitar PLTU Cilacap. “Dengan lokasi rumah warga yang sangat berdekatan dengan pembuangan limbah B3, bukan tidak mungkin kondisi air tanah warga itu tercemar, kemudian dikomsumsi warga,” tambah Jagat. Selain itu, dari data Puskesmas setempat, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) merupakan penyakit paling banyak diderita warga di sekitar PLTU Cilacap. UU Cipta Kerja juga menjadikan pertanggungjawaban perusahaan atas pencemaran menjadi sangat kecil. Selain itu, UU ini juga membuat pemerintah daerah mengubah tata ruang kawasan nelayan di Cilacap menjadi kawasan industri. Dalam kasus yang berbeda, peneliti dalam riset ini, M Rakha Ramadhan mengupas dampak UU Minerba dalam contoh kasus tambang, seperti Wadas serta tambang pasir di Sungai Progo dan Boyong. Dalam kasus tambang pasir Progo misalnya pemerintah memberikan izin tanpa mendengar aspirasi masyarakat setempat yang menolak. Padahal, penolakan itu wajar karena aktivitas tambang menghadirkan dampak buruk bagi warga. “Mulai dari bagaimana suara bising yang dihasilkan aktivitas pertambangan tersebut, dan bagaimana dampak ekologis yang ditimbulkan seperti longsor dan berkurangnya persediaan air bersih,” tegas Rakha. Sejak 2020, masyarakat sekitar lokasi tambang telah melakukan aksi penolakan. Namun, dengan dasar UU Minerba, aparat keamanan justru menekan aspirasi warga dengan melakukan pemanggilan kepada para penolak. “Ini tidak lepas dari pasal UU Minerba, barangsiapa yang merintangi atau menghalang-halangi aktivitas pertambangan, dapat dikenakan atau dapat ditindak secara pidana,” jelas Rakha. UU Minerba telah menjadi dasar tindak kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar Sungai Progo, yang ingin menjaga lingkungannya. Judicial Review Berjalan Kelompok masyarakat sipil saat ini sedang mengajukan Judicial Review (JR) UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Berbicara dalam diskusi ini, Lasma Natalia Hillo Panjaitan selaku tim hukum JR UU Minerba menyebut sebenarnya upaya penolakan sudah muncul sejak 2020. Penolakan itu diberikan baik terhadao proses pembentukan UU maupun substansi UU Minerba itu sendiri. Dampak UU Minerba secara luar diterima masyarakat Indonesia. “Ada kriminalisasi, ada akses partisipasi yang hilang. Itu juga yang terjadi kepada warga korban tambang lain di berbagai daerah, seperti di Banyuwangi, Bangka, Sulawesi Kalimantan, termasuk yang didampingi LBH Yogya di sungai Progo dan Wadas,” kata Lasma. Dampak pertambangan diyakini multi dimensi dan sangat besar terhadap ruang hidup, hak warga negara, dan kondisi ekologis. “Dia berdampak terhadap lingkungan, struktur sosial masyarakat dan kemandirian ekonomi warga,” tambahnya. Beberapa masalah dalam UU Minerba antara lain adalah berubahnya kewenangan daerah menjadi kewenangan pusat. Dengan demikian, proses penolakan warga menjadi sulit karena kewenangan ada di Jakarta. UU ini juga memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang. Dengan ketetapan itu, bisa dipastikan wilayah tambang yang tidak berperpekstif lingkungan akan tetap bertahan. Pasal kriminalisasi masyarakat penolak tambang juga digunakan aparat keamanan untuk menakut-nakuti dan menciptakan rasa tidak aman bagi warga. Dengan dasar itu, menurut Lasma, UU Minerba setidaknya menciptakan tiga kondisi, yaitu tidak adanya pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). “Masyarakat digusur, di mana mereka sudah lama tinggal, jika menolak dinilai menghambat pembangunan,” ujarnya. Kondisi kedua adalah hilangnya demokrasi karena ciri negara demokrasi adalah adanya partisipasi masyarakat. Kondisi ketiga, melemahnya negara hukum. “Hukum digunakan bukan untuk melindungi warga negara, tetapi mengkriminalisasi, membuat orang takut, dan semakin menunjukkan keberpihakan hukum bukan kepada warga yang lemah, tetapi sekelompok pemodal, yang disebut oligarki,” tandas Lasma. Tiga Kondisi Terkonfirmasi Fanny Tri Jambore, Manajer Pengkampanye Isu Tambang dan Energi, Walhi mencatat ada tiga hal sebagai dampak lahirnya dua UU tersebut. Pertama, kata dia, adalah liberalisasi perizinan yang seolah menjadi upaya komodifikasi dari seluruh sistem peri kehidupan manusia. “Jadi, tidak ada lagi hal yang tabu untuk diperjualbelikan sekarang. Hampir seluruh sektor kehidupan kita dijadikan sebagai komoditas, entah pendidikan, kesehatan, apalagi sumber daya alam. Semua hal hendak dijadikan barang jualan,” kata Fanny. Untuk memudahkan proses itu, pemerintah memberikan karpet merah kepada investasi melalui dasar hukum baru. Kondisi kedua, kata Fanny, adalah menghilangnya partisipasi dan kontrol rakyat terhadap hidupnya sendiri. “Buruh kehilangan banyak hak dalam kehidupannya. Masyarakat adat kehilangan banyak hak mengontrol ruang adatnya sendiri. Hampir semua komunitas di banyak ekosistem, entah kawasan hutan, pesisir, atau karst, kehilangan hak kontrol dan partipasi menentukan tata ruang hidupnya sendiri,” tambahnya. Kondisi ketiga, adalah pemberian ruang kebijakan yang sangat berpusat kepada pemerintah pusat. “Hal ini akan menjurus kepada otoritarianisme. Pemusatan seluruh kekuasaan hanya kepada tangan orang-orang di Jakarta. Seluruh kasus dalam riset ini mengonfirmasi tiga ketakutan besar tersebut,” ujar Fanny. [ns/ah]