Setelah melakukan pemantauan terhadap situs dan akun yang berpotensi menyebarkan paham radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama sejumlah pemangku kepentingan lain menemukan ada 650 situs dan akun di dunia maya yang berpotensi menyebarkan paham radikal. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama sejumlah pemangku kepentingan lainnya termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, beberapa bulan ini telah memantau situs dan akun yang berpotensi menyebarkan paham radikalisme dan terorisme. Berdasarkan hasil pemantauan itu, dalam rapat kerja dengan Komisi hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlangsung di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (25/1), Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan telah menemukan 650 situs dan akun di dunia maya yang berpotensi radikal. "Dengan rincian 409 (situs dan akun) adalah konten yang bersifat umum dan merupakan konten informasi serangan, 147 konten anti dengan NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia), 85 konten anti-Pancasila, tujuh konten intoleran, dan dua konten berkaitan dengan paham takfiri (mengkafirkan orang lain)," kata Boy Rafli. Selain itu, lanjut Boy Rafli, terdapat pula 40 situs atau akun dengan konten pendanaan dan 13 situs atau akun yang memiliki konten pelatihan teroris. Ditambahkannya, BNPT juga melakukan kegiatan survei untuk menentukan Indeks Risiko Terorisme (IRT) setiap tahun, yang kajiannya dilakukan bekerjasama dengan sejumlah lembaga seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama, Kajian Terorisme Universitas Indonesia dan Nazaruddin Umar Office serta Alvara Research Center. Hasil survei pada tahun 2020 menunjukkan IRT untuk dimensi target sebesar 54,46 persen dan IRT untuk pelaku 38,24 persen. Tahun lalu, IRT untuk target turun menjadi 54,36 persen dan IRT untuk pelaku melorot menjadi 38,14 persen. Sedangkan tahun ini, IRT untuk target diperkirakan anjlok lagi menjadi 54,26 persen dan IRT untuk pelaku merosot menjadi 38 persen. Dalam pemulihan korban terorisme, menurut Boy Rafli, BNPT telah mengidentifikasi 1.384 korban, termasuk warga negara asing yang tersebar di 15 provinsi. Selama 2018-2021, BNPT telah menyalurkan kompensasi kepada 215 korban serangan terorisme dengan nilai nominal Rp 39,25 miliar. Dalam konteks radikalisasi, BNPT melakukan identifikasi sosial terhadap 66 narapidana kasus terorisme, rehabilitasi atas 44 narapidana terorisme, reedukasi kepada 18 narapidana terorisme dan reintegrasi sosial terhadap sembilan narapidana terorisme. Boy Rafli menambahkan kegiatan rehabilitasi terhadap narapidana terorisme dilakukan di 24 lembaga pemasyarakatan, reedukasi di empat lembaga pemasyarakatan dan reintegrasi sosial di empat lembaga pemasyarakatan. Di lembaga pemasyarakatan khusus teroris yang berada di kompleks kantor BNPT di Sentul, Jawa Barat, telah dilaksanakan program deradikalisasi dan pada tahap reintegrasi pada 28 orang. Sedangkan program deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan dilakukan kepada 718 mantan narapidana terorisme dan 243 orang terpapar paham terorisme. Boy Rafli menjelaskan sejak 1 Januari hingga 15 Desember 2021, Detasemen Khusus 88 Antiteror telah melakukan penindakan terhadap 364 tersangka kasus terorisme, terdiri dari 178 anggota Jamaah Islamiyah, 154 orang dari Jamaah Ansarud Daulah (JAD), 16 anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan 16 orang dari Front Pembela Islam (FPI). Sampai saat ini terdapat 1.031 tahanan dan narapidana kasus terorisme, meliputi 575 orang mendekam dalam rumah tahanan dan 456 menghuni lembaga pemasyarakatan. Lima provinsi dengan jumlah tahanan dan narapidana terorisme terbesar adalah Jawa Barat (471 orang), Jawa Tengah (205 orang), Jakarta (163 orang), Lampung (37 orang), dan Jawa Timur (36 orang). Dalam rapat kerja tersebut, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bambang DH meminta kompensasi segera diberikan kepada semua korban serangan terorisme. Sebab baru 215 dan 1.384 korban yang telah menerima uang kompensasi. Karena itu, dia berharap DPR dan pemerintah sepakat untuk segera memberikan kompensasi kepada 1.169 korban serangan terorisme yang belum menerima kompensasi. "(Mereka) ini korban teror sepuluh tahun lebih. Jadi menunggu sudah cukup lama. Saya rasa ini mohon perhatian kita semua, para korban ini kita selesaikan (pemberian uang kompensasinya," ujar Bambang. Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan meminta BNPT menjalankan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian dalam menentukan sebuah lembaga atau organisasi terkait terorisme atau tidak. "Ada 45 yayasan dan lembaga amal yang diidentifikasi sebagai terafiliasi dengan kelompok teror dan delapan yayasan atau lembaga yang telah dinyatakan masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris," tutur Arsul. Arsul Sani menekankan pentingnya prinsip perlindungan HAM dan kehati-hatian tersebut untuk menghindari pandangan masyarakat bahwa terorisme itu banyak stigmatisasinya terhadap beragam kelompok umat Islam. [fw/em]